Teori hukum murni adalah teori
positif. Ia merupakan teori tentang hukum positif umum, bukan tentang tatanan
hukum khusus. Ia merupakan teori hukum umum, bukan penafsiran tentang norma
hukum nasional atau internasional tertentu; namun menyajikan teori penafsiran.
Sebagai suatu teori, ia terutama
dimaksud untuk mengetahui dan menjelaskan tujuannya. Teori ini berupaya
menjawab pertanyaan apa itu hukum dan bagaimana ia ada, bukan bagaimana
semestinya dia ada. Ia merupakan ilmu hukum (yurisprudence) dan bukan
politik hukum.
Ia disebut teori hukum murni
lantaran hanya menjelaskan hukum dan berupaya membersihkan objek penjelasannya
dari hal yang tidak bersangkut-paut dengan hukum. Yang menjadi tujuannya adalah
membersihkan ilmu hukum dari unsur-unsur asing. Inilah landasan metodologis
dari teori itu.
Pendekatan semacam itu nampaknya
merupakan hal yang sudah selayaknya. Namun,, dari tinjauan sekilas terhadap
ilmu hukum tradisional yang berkembang di abad ke -19 dan -20 dapat diketahui
dengan jelas betapa ia sudah begitu jauh dari kemurnian, secara tidak kritis
ilmu hukum telah dicampur adukkan dengan unsur-unsur psikologi, sosiologi,
etika, dan teori politik. Pencampuradukan ini bisa dimengerti karena bidang
terakhir itu membahas pokok persolan yang berkaitan dengan hukum. Teori hukum
murni berupaya mengatasi pengertian hukum pada bidang-bidang tersebut, bukan
lantaran ia mengabaikan atau memungkiri kaitannya, melainkan karena ia
menghindari pencampuradukan berbagai disiplin ilmu yang berlainan metodologi
(sinkretisme metodologi) yang mengaburkan esensi ilmu hukum dan meniadakan
batas-batas yang ditetapkan padanya oleh sifat pokok bahasannya.
Pada tahun 1934, teoritikus hukum
Amerika Roscoe Pound menulis bahwa Hans Kelsen adalah ahli hukum terkenal yang
tidak diragukan lagi pada waktu itu. Seperempat abad kemudian, ahli filsafat
hukum Inggris H.L.A Hart menggambarkan Kelsen sebagai penulis Yurisprudensi
analitis paling menggugah di jaman itu. Dan seperempat abad berikutnya, ahli
filsafat dan logika Finlandia Georg Henrik Von Wright membandingkan Kelsen
dengan Max Weber, ia menulis, dua pemikir inilah yang paling mempengaruhi ilmu
sosial di abad itu. Para penulis lainnya menilai Kelsen dengan istilah-istilah
pedas. Banyak penulis di Amerika dan Inggris yang menolak karya “Pure Theory
of Law” karena sangat steril dan tandus, yang hanya bisa digunakan dalam
logika dan bukan dalam kehidupan. Selama periode Weimar di Jerman, bagian
terbaik peran Kelsen sendiri dalam perdebatan politik dan hukum dinegara-negara
yang menggunakan bahasa Jerman, para penulis di seluruh spektrum politik
tersebut berpendapat bahwa Pure theory gagal.
Kelsen memahami Pure Theory of
law –nya sebagai teori kognisi hukum, teori pengetahuan hukum. Ia berulang
kali menulis bahwa satu-satunya tujuan pure theory adalah kognisi atau
pengetahuan objeknya, tepatnya ditetapkan sebgai hukum itu sendiri. Dalam
merumuskan teori kognisi hukum khususnya, tugas khusus Kelsen adalah mencegah
“elemen-elemen asing” yang acapkali menyesatkan teori hukum di masa lalu.
Mengapa Kelsen menolak hal ini, atas
nama teori hukum tersebut kelsen menolak kecenderungan untuk meminta bantuan
etika, psikologi dan lain-lain guna menyelesaikan persoalan-persoalan hukum.
Dan sindiriannya pada apa yang dinamakan bidang-bidang asing. Disiplin ilmu itu
dikenal sebgai ilmu hukum khusus yang harus dibedakan dari filsafat keadilan
disatu pihak dari sosiologi, atau kognisi relaitas sosial, di lain pihak.
Teori hukum murni adalah teori hukum
positif tetapi bukan hukum positif suatu sistem hukum tertentu melainkan suatu
teori hukum umum (general legal theory). Sebagai suatu teori tujuan
utamanya adalah pengetahuan terhadap subjeknya untuk menjawab apakah hukum yang
seharusnya (what the law ought to be) atau bagaimana seharusnya dibuat (ought
to be made). Teori hukum murni adalah ilmu hukum (legal science),
bukan kebijakan hukum (legal policy).
Konsep Kelsen dalam bukunya :” Introduction
to the Problems of Legal Theory”
menyatakan :
Kemurnian teori tersebut dilindungi
dari dua arah. Kemurnian tersebut dilindungi dari pernyataam-pernyataan dari
sudut pandang sosiologis yang menekankan metode ilmu kausal untuk mengasumsikan
hukum tersebut bagian dari bagian alam. Dan kemurnian teori tersebut dilindungi
dari pernyataan-pernyataan hukum alam, yang menghilangkan teori hukum bidang
norma hukum positif da memasukkannya dalam bidang postulat etika-politik.
Fokus utama teori hukum murni,
menurut Hans Kelsen, bukanlah salinan ide transendental yang sedikit banyak
tidak sempurna. Teori hukum murni ini tidak berusaha memandang hukum sebagai
anak cucu keadilan, sebagai anak dari orang tua yang suci. Teori hukum
tampaknya memegang teguh suatu perbedaan yang tegas antara hukum empirik dan
keadilan transendental dengan meniadakan keadilan transendental dari perhatian
spesifiknya. Teori ini tidak melihat manifestasi dari suatu otorita gaib di
dalam hukum, melainkan meninjau suatu teknik sosial spesifik yang didasarkan
pada pengalaman manusia; teori hukum murni menolak untuk dijadikan ilmu
metafisika hukum. Pada dasarnya, tidak ada perbedaan esensial antara ilmu hukum
analitik dan teori hukum murni. Adapun letak perbedaannya, kedua bidang itu
berbeda karena teori hukum murni berusaha untuk melanjutkan metode hukum
analitik dengan lebih konsisten dari yang diupayakan Austin dan para
pengikutnya.
Usaha yang konsisten ini terutama
menyangkut konsep-konsep fundamental, seperti konsep norma hukum di satu pihak
dan konsep-konsep hak dan kewajiban hukum di lain pihak. Di Perancis dan
Jerman, ilmu hukum disajikan secara berbeda antara hukum dalam pengertian
obyektif dan hukum dalam pengertian subyektif, dan terakhir menyangkut hubungan
antara hukum dan negara. Teori hukum murni merupakan suatu pemberontakan yang
ditujukan terhadap ilmu hukum yang ideologis, yakni yang hanya mengembangkan
hukum itui sebagai alat pemerintahan dalam negara-negara totaliter. Teori ini
lazim dikaitkan pada mazhab Wina yang tokohnya adalah Hans Kelsen.
Pada dasarnya, pemikiran Kelsen
sangat dekat dengan pemikiran Austin. Walaupun Kelsen ketika mulai
mengembangkan teori-teorinya, seperti diakui kemudian, sama sekali tidak
mengetahui karya Austin. Asal-usul falsafah madzhab Wina sangat berbeda dari Utilitarianisme
Austin. Dasar falsafah pemikiran Kelsen adalah Neo Kantialisme, hal ini
menghubungkan Kelsen dengan inspirasi Neo-Kant dari Stamler dan Delfeccio,
tetapi simpulan-simpulan yang ditarik Kelsen dan Madzhab Wina dari dalil-dalil
aliran Neo-Kant, secara radikal bertentangan dengan dalil-dalil kedua kedua
ahli hukum ini. Stamler menjadi terlibat dalam kesukaran-kesukaran teori hukum
murni yang berlaku di seluruh dunia, bersih dari segala sesuatu yang dapat
berubah, tetapi masih mampu memberikan gagasan-gagasan yang memberi bimbingan
bagi ahli hukum yang mencari keadilan.
Madzhab Wina mengetengahkan dalam teori hukum
pencarian pengetahuan yang murni, dalam arti yang paling tidak mengenal
kompromi, yakni pengetahuan yang bebas dari naluri, kekerasan dan keinginan.
Baik Stamler maupun DelVecchio mengkombinasikan perbedaan bentuk
dan materi dari Kant dengan ideologi hukum; Stamler dengan cita hukum
yang semu formal yang ditarik dari etika Kant, Del Vecchio dengan
instuisi cita keadilannya yang didasarkan atas kesadaran manusia. Kelsen dan
para pengikutnya menolak tiap idealisme hukum seperti itu dan menganggapnya
tidak ilmiah. Teori hukum harus murni formal dan di pihak lain hukum pada
hakekatnya berbeda dengan alam.
Ilmu hukum adalah ilmu normatif, demikian menurut Kelsen dan
hukum itu semata-mata berada dalam kawasan dunia sollen. Karakteristik dari
norma adalah sifatnya yang hipotetis, lahir bukan karena alami, melainkan
karena kemauan dan akal manusia. Kemauan dan akal ini menelorkan pernyataan
yang berfungsi sebagai asumsi dasar. Teori Kelsen dapat dirumuskan sebagai “suatu
analisis tentang struktur hukum positif, yang dilakukan seeksak mungkin, suatu
analisis yang bebas dari semua pendapat etis atau politis mengenai suatu nilai”.
Kelsen pada dasarnya ingin menciptakan suatu ilmu pengetahuan hukum murni,
menghilangkan dari semua unsur-unsur yang tidak penting dan memisahkan
jurisprudence dari ilmu-ilmu sosial, sebagaimana yang dilakukan oleh kaum
analis denga tegas.
Kelsen juga menolak untuk memberikan
definisi hukum sebagai suatu perintah. Oleh karena definisi yang demikian itu
mempergunakan pertimbangan-pertimbangan subyektif dan politis, sedangkan yang dikehendaki ilmu
pengetahuannya benar-benar objektif. Perspektif Kelsen dalam memandang
hukum tidak berusaha menggambarkan apa yang terjadi, tetapi lebih menitik
beratkan untuk menentukan peraturan-peraturan tertentu, meletakkan norma-norma
bagi tindakan yang harus diikuti orang.
Teori ini boleh dilihat sebagai
suatu pengembangan yang amat saksama dari aliran positivisme yang baru saja
dibicarakan. Seperti dikatakan di atas, ia menolak ajaran yang bersifat
ideologis dan hanya menerima hukum sebagaimana adanya, yaitu dalam bentuk
peraturan-peraturan yang ada. Menurut Kelsen, teori hukum murni adalah teori
tentang hukum positif. Ia berusaha untuk mempersoalkan dan menjawab pertanyaan;
“Apakah hukumnya?” dan bukan “Bagaimanakah hukum yang seharusnya?” Oleh
karena titik tolak yang demikian itu, maka Kelsen berpendapat, bahwa keadilan
sebagaimana lazimnya dipersoalkan, hendaknya dikeluarkan dari ilmu hukum. Ia
adalah suatu konsep ideologis, suatu ideal yang “irasional” (Bodenheimer,
1974:99). Dikatakan olehnya, “Pendapat yang umum dikemukakan mengatakan, bahwa
keadilan itu ada, tetapi pendapat itu tidak bisa memberikan batasan yang jelas
sehingga menimbulkan suatu keadaan yang kontradiktif. Bagaimanapun keadilan itu
tidak dapat dilepaskan dari kehendak (volition) dan tindakan manusia,
tetapi ia tidak bisa menjadi subyek pengetahuan. Dipandang dari sudut pengetahuan
rasional, yang ada hanya kepentingan-kepentingan”.
Hans Kelsen
mengemukakan “Pure Theory of Law” yang terjemahannya teori murni tentang hukum
(yang murni bukan hukumnya tetapi teorinya), ajarannya yaitu: dalam membuat
teori hukum haruslah bersih/murni dari pengaruh unsur-unsur lain.
Murni di sini dimaksudkan tidak dipengaruhi oleh ilmu –
ilmu lain, unsur/ajaran–ajaran lain misalnya agama filsafat, sejarah,
sosiologi, antropologi, ekonomi dan sebagainya.Untuk mendukung teori murni
tentang hukumnya, Kelsen mengemukakan teori Stufenbau yaitu mengenai
keberlakuan kaidah hukum.
Stufenbau teori
maksudnya :Keberadaan
kaidah yang lebih rendah ditentukan oleh kaidah lebih tinggi dengan demikian
kaidah konkrit berlaku berdasarkan kaidah abstrak, sedangkan kaidah abstrak
berlaku berdasarkan kaidah dasar atau grund norm.
Menurut
Kelsen bahwa untuk mengetahui dan mengukur kepatuhan/pentaatan dari
warga masyarakat tersebut hanya dapat dilakukan dengan (ilmu) sosiologi.
Jadi kesalahan/tidak konsisten teori murni Kelsen
terletak pada kaidah dasar/norma dasar yang tidak murni lagi karena dipengaruhi
oleh sosiologi.
Menurut Kelsen, Pemilihan mengenai norma dasar tidak
bersifat sewenang – wenang sebaliknya pilihan tersebut harus dilakukan oleh
ahli ilmu hukum pada prinsip–prinsip keberlakuan, yaitu bahwa tertib hukum
secara keseluruhan harus bersandar pada asumsi yaitu keberlakuan secara luas,
dalam arti bahwa secara umum warga berprilaku sesuai dengan asumsi itu.
Norma dasar bukanlah hukum positif dan maka tidak berkaitan dengan ilmu
hukum, tetapi sepenuhnya formal dalam memberikan kesatuan terhadap system hukum
dan membuat batas–batas akan norma – norma itu yang dipelajari ilmu hukum.
Dari uraian di atas dapat diketahui,
bahwa ia menghendaki suatu gambaran tentang hukum yang bersih dalam
abstraksinya dan ketat dalam logikanya. Oleh karena itulah ia menyampingkan
hal-hal yang bersifat ideologis, oleh karena dianggapnya irasional. Teori hukum
yang murni juga tidak boleh dicemari oleh ilmu-ilmu politik, sosiologi, sejarah
dan pembicaraan tentang etika.
Ilmu hukum adalah “ilmu normatif”, demikian dinyatakan oleh Kelsen
berkali-kali. Hukum itu semata-mata berada dalam kawasan dunia sollen. Ciri
hakiki dari norma adalah sifatnya yang hipotetis. Ia lahir bukan karena proses
alami, melainkan karena kemauan dan akal manusia. Kemauan dan akal ini
menelorkan pernyataan yang berfungsi sebagai asumsi dasar atau permulaan.
Dinyatakan, bahwa berbuat begini atau begitu merupakan dalil yang umum dan
sebagai kelanjutannya harus diikuti oleh konsekuensi tertentu. Konsekuensi yang
demikian itu akan dilaksanakan oleh kehendak manusia sendiri juga. Oleh karena
itu salah satu ciri yang menonjol pada teori Kelsen adalah: paksanaan. Setiap
hukum harus mempunyai alat atau perlengkapan untuk memaksa ini
Pemikiran Kelsen kebanyakan
dipengaruhi oleh filosof Jerman, Immanuel Kant. Ia hampir mengutip teori
pengetahuan Kantian yang berhubungan dengan teori hukumnya.Kant percaya bahwa
hal yang objektif berubah yang disebabkan oleh golongan-golonganresmi tertentu
(hal-hal tertentu) yang pakai dalam pemikiran. Bila seseorang bisa
belajar Teori Kelsen secara linguistic
(bahasa). Seperti methodology, normarivity, causality,dst.
1.
Methodologi
Teori hukum
adalah sebuah pengetahuan. Metodenya itu harus murni/bersih.Harus adanya kesatuan hukum.
2.
Kausalitas (Hubungan Sebab Akibat)
Ilmu-ilmua fisika mengadopsi
kausalitas sebagai suatu hal yang utama/penting.Hal-hal umum yang sering terjadi. Seperti, ketika oksigen dan hydrogen
dicampur,maka air akan terbentuk.
3.
Normativitas
Dalam ilmu hukum, hukum didasarkan
pada kemauan, bukan pada sebab-akibat,Jadi hukum didasarkan pada normativity
(norma).
4.
Piuritas (kemurnian/kebersiah)
Kelsen mengatakan sebuah teori hukum
harus bebas/terlepas dari politik, sejarah,etnik, moralitas, ekonomi, eustetis
atau ilmu social lainnya. Fungsi sebuah teori hukumialah untuk mengubungkannya
kedalam sebuah pola yang masuk akal (logic)
Kelsen mengatakan bahwa ketika
sebuah hukum yang sudah ditentang oleh beberapa anggota, hal itu tidak membawa kehendak minoritas (kelompok kecil).
Bahkanmayoritas mungkin tidak menyadari akan isi dan, oleh karena itu,
tidak dapat dikatakan telah menghendakinya. Ilmu hukum adalah pengetahuan
tentang norma-norma. Sebuah norma berasal
dari individu harus berperilaku dengan cara tertentu, tetapi tidak menyatakan
bahwa perilaku seperti itu adalah kehendak sebenarnya siapa pun.
Hukum
menurut Hans Kelsen merupakan satu kesatuan norma yang tersusun secara
sistematis , berjenjang dan harmoni.
Norma hukum yang tertinggi adalah Grundnorm
atau norma dasar. Karena tidak bertumpu pada norma lain, adalah ekstra-legal.
Hirarki norma-norma digambarkan sebagai berikut.
a.
Norma dasar
Hal
ini merupakan sebuah fiksi dibandingkan sebuah hipotesis. Kelsen mengatakan
bahwa norma dasar tidak diciptakan dalam bentuk prosedur yang sah oleh badan
pembuat undang-undang/hukum yang sah. Agar semua norma dianggap sah (valid),
maka harus memenuhi syarat 1. Sebuah norma harus menjadi bagian dari sebuah
sistem norma-norma, 2. Sistem tersebut harus betul-betul bermanfaat/efektif.
b.
Penggunaan Kekerasan/Paksaan
Kekesaran/paksaan
adalah karakteristi hukum yang sangat pokok. Moral ataupunkeagamaan adalah penting sekali, walaupu juga
efektif dengan adanya penerapansanksi.
Menurut Kelsen, tidak ada prilaku yang bisa dikurangi selain adanya sanksi.
Menurutnya juga, hukum/undan-undang dan sanksi tidak bisa dicampur karena
sanksi disediakan oleh hukum yang biasanya disebut sebagai sebuah “norma
sanksi”.
c.
Fungsi Hakim/Pengadilan
Menurut
Kelsen, fungsi hakim adalah untuk menterjemahkan penerapan hukum dan
norma-norma tetapi ia sendiri tidak menciptakan norma.
d.
Kewajiban Hukum
Kelsen
beranggapan bahwa kewajiban/tugas merupakan hak-hak dasar.
e.
Hak-hak Legal
Setiap
hak-hak yang benar tidak hanya sebagai kebebasan belaka (contoh, saya punya hak
untuk berpikir, artinya saya punya kebebasan berpikir atau tidak berpikir),
berisi kewajiban seseorang terhadap yang lainnya. Dalam hal ini , hak
dimaksudkan sebagai kewajiban yang relatif.
f.
Keseluruhan dari Teori Legal
Kelsen
mengatakan bahwa teorinya adalah dari aplikasi yang umum. Teori ini diterapkan
dalam sebuah Negara Kapitalis sosialis atau bukan komunis dan itu digunakan
pada Negara-negara yang berbeda tingkat perkembangannya.
g.
Hukum Internasional
Pandangan
Kelsen tentang hukum internasional adalah hukum yang mengandung semua elemen
esensial dari sebuah perintah sah. Ini bermaksud sebuah perintah yang tegas dan
mempunyai sanksi. Hukum internsional adalah hukum sesungguhnya namun juga
berupa hukum primitive karena sanksi itu sendiri ditinggalkan oleh negara dan
banyak dilanggar dan malah digantikan dengan didelegasikan ke pusat dengan
perintah nasional. Perintah internasional yang sah sama sekali
didesentralisasikan. Sebuah pangkat dalam sentralisasi sangat diperlukan dalam
satu negara. Ketika ditanyai tentang norma dasar hukum internsional. Kelsen
menjawab bahwa Pacta Sunt Servada (Perjanjian Harus Dihormati),
ini menjadi Grundnorm dari hukum Internasional.
Teori
hukum menyatakan tentang ketidakmampuannya untuk menjawab apakah sebuah hukum
berupa keadilan. Kelsen menyatakan dalam bukunya, keadilan adalah sebuah ide
irasional. Keadilan adalah kualitas yang menghubungkan dalam aplikasinya.
Keadilan ada di bawah hukum.
Ada hal-hal
yang tidak boleh diabaikan dari Grundnorm (norma dasar), tetapi tidak perlu
diperhatikan secara keseluruhan. Ketika Grundnormberhenti untuk memperoleh
dukungan minimal, ia tidak lagi menjadi dasar dari tatanan hukum dan proposisi lainnya yang tidak
memperoleh dukungan akan menggantikannya
Bagian lain dari teori Kelsen yang
bersifat dasar adalah konsepsinya mengenai Grundnorm, suatu dalil akbar
dan tidak dapat ditiadakan, yang menjadi tujuan dari semua jalan hukum,
bagaimana berputar-putarnya pun jalan itu . Dengan demikian, maka dalil akbar yang
disebut sebagai Grundnorm itu kecuali berfungsi sebagai dasar, juga
sebagai tujuan yang harus diperhatikan oleh setiap hukum atau peraturan yang
ada. Semua hukum yang berada dalam kawasan rejim Grundnorm tersebut
harus bisa mengait padanya, oleh karena itu ia bisa juga dilihat sebagai induk
yang melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam suatu tatanan sistem tertentu. Grundnorm
ini tidak perlu sama untuk setiap tata hukum; tetapi ia selalu akan ada di
situ, apakah dalam bentuk tertulis, ataukah sebagai suatu pernyataan yang tidak
tertulis.
Grundnorm ini merupakan semacam bensin yang
menggerakkan seluruh sistem hukum. Dialah yang menjadi dasar mengapa hukum itu
harus dipetuhi dan dia pula yang memberikan pertanggungjawaban, mengapa hukum
di situ harus dilaksanakan. Oleh karena itu ia lebih merupakan suatu dalil
daripada peraturan biasa. Dalil itu akan tetap menjadi dasar dari tata hukum
manakala orang mempercayai, mengakui dan mematuhinya. Tetapi apabila orang
sudah mulai menggugat kebenaran dari dalil akbar tersebut, maka keseluruhan
bangunan hukumnya pun akan runtuh. Inilah yang disebut revolusi.
Dalam teori Kelsen, sejak mulai dari
kelahiran “hipotesis perdana” (initial hypothesis) yang disebut Grundnorm
tersebut, maka proses selanjutnya pun berputarlah sudah. Yang disebut sebagai
proses di sini adalah proses konkretisasi setapak demi setapak, mulai dari
norma dasar itu dan penerapannya terhadap situasi tertentu. Proses ini
melahirkan Stufentheorie, yaitu yang melihat tata hukum sebagai suatu
proses menciptakan sendiri norma-norma, dari mulai norma-norma yang umum sampai
kepada yang lebih konkrit, sampai kepada yang paling konkrit. Pada ujung
terakhir proses ini, sanksi hukum lalu berupa izin yang diberikan kepada
seseorang untuk melakukan suatu tindakan atau memaksakan suatu tindakan. Dalam
hal ini apa yang semula berupa sesuatu yang “seharusnya”, kini telah menjadi
sesuatu yang “boleh” dan “dapat” dilakukan.
Teori Kelsen dapat dirumuskan
sebagai “suatu analisis tentang struktur hukum positif, yang dilakukan seeksak
mungkin, suatu analisis yang bebas dari semua pendapat (judgements) etik
atau politik mengenai nilai” Kritik yang ditujukan kepada teori Kelsen yang
positivistis, realistis dan murni itu, di antaranya didorong oleh pemikiran,
bahwa teori yang demikian itu akan terlalu menekankan pada hukum sebagai
konsep-konsep, yang mengutamakan studi terhadap hukum sebagai suatu Deutungsschema
yang kait mengait secara logis tanpa cacat dan melupakan nilai kemanusiaannya .
Pengikut-pengikut Kelsen tertentu menghawatirkan, bahwa teori itu akan terjatuh
menjadi Begriffsjurisprudenz yang kering. Yang disebut terakhir ini
mengembangkan ilmu hukum dari konsep-konsep yang ada melalui suatu penalaran
logis semata, sehingga menimbulkan kesan tentang adanya suatu kekuatan dari
hukum untuk melakukan suatu ekspansi logis.. Ekspansi ini semata-mata
didasarkan pada penalaran logis dan tidak memperhatikan segi manusiawi dari
konstruksinya, sehingga diperoleh hasil yang secara logis benar, tetapi secara
menusiawi mungkin merupakan keanehan.
Tugas teori hukum adalah untuk
menjelaskan bagaimana hubungan-hubungan antara norma dasar dan semua norm adi
bawahnya, tetapi tidak mengatakan apakah norma dasar sendiri baik atau buruk.
Hal tersebut meruakan tugas ilmu politik, atau etika, atau agama.
Positivisme secara tepat-konteks
dipahami dalam suatu masa kesejarahan tertentu yaitu masa kemunduran Filsafat
Hukum. Masa ini dihiasi dengan munculnya Ajaran Hukum Murni (Reine
Rechtslehre) dari Hans Kelsen yang mendefinisikan Ajaran Hukum Murni
sebagai Teori Hukum Positif yang objeknya adalah hukum positif.
Berbagai istilah digunakan oleh Hans
Kelsen guna menamai Teori Hukum Positif seperti Ilmu Hukum Normatif dan Teori
Juristik yang sebangun struktur argumentasinya. Sikap yang diambil Hans Kelsen
adalah pemurnian “hukum” dari kepentingan-kepentingan di luar hukum seperti
politik, keadilan, ideologi dan seterusnya. Hukum merupakan teknik sosial yang
spesifik dengan objek hukum positif.
Segi tersembunyi (tacit
knowledge) Ajaran
Hukum Murni yang implisit adalah ketidakpercayaan terhadap positivisme, hukum
alam, dan segala sesuatu yang menghubungkan norma dengan kenyataan sosial,
sembari menciptakan “Ajaran” yang didefinisikannya sebagai “Teori”. Ajaran
Hukum Murni mengkritik positivisme dan hukum alam, khususnya dalam ulasan
epistemologis dan politis terhadap Idealisme Kritis dan Positivisme Hukum Kant.
Permainan bahasa dari Kelsen ini harus dicermati benar-benar bagaimana ia tidak
menggunakan Filsafat Ilmu untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan Idealisme
Kritis dan Positivisme.
Kedua istilah ini merupakan aliran
baru pasca Kant yaitu Idealisme (Fichte, Schelling, Hegel) yang melanjutkan
pikiran Kant: Subjek memberi struktur pada realitas, seluruh realitas terletak
dalam kesadaran (Idea) Subjek, bukan pada realitas itu sendiri; dan
Positivisme (Comte dan JS Mill) yang melanjutkan pikiran Kant pula: apa yang
bisa diketahui hanyalah fenomen-fenomen saja sebagai data-data dari pengalaman
empiris, di luar fakta-fakta positif itu tidak bisa dihasilkan pengetahuan.
Ajaran Hukum Murni tidak memiliki
kaitan apa-apa dengan Idealisme Kritis dan Positivisme ini. Ajaran Hukum Murni
memisahkan diri dari Filsafat dan Sosiologi yang dikategorikannya positivistik.
Ajaran Hukum Murni dinyatakan Kelsen sebagai pelanjut Austin (Utilitarian; Ilmu
Hukum Analitik) dengan menyingkirkan aspek di luar hukum yaitu fakta psikologis
atas aturan. Ruang pengembangan Ilmu Hukum Normatif tereduksi pada
sistematisasi-logis atau skillful yang bertumpu pada logika atas hukum positif.
Ajaran Hukum Murni menolak
metafisika atas hukum positif. Doktrin hukum alam pada saat tertentu bersifat
konservatif, bisa reformatif atau revolusioner. Doktrin hukum alam suatu saat
membenarkan hukum positif karena sesuai dengan tata ketuhanan yang belum tentu
dapat terbuktikan. Di saat lain, doktrin hukum alam mempertanyakan validitas
hukum positif dan menyatakan hukum positif ini bertentangan dengan nilai-nilai
dalam doktrin hukum alam yang absolut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar