Positivisme
Hukum (Aliran Hukum Positif) memandang perlu memisahkan secara tegas antara
hukum dan moral (antara hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya, antara das Sein dan das Sollen). Dalam kacamata positivis, tiada hukum lain kecuali
perintah penguasa. Bahkan bagian dari Aliran Hukum Positif yang dikenal dengan
nama Legisme berpendapat lebih tegas bahwa hukum itu identik dengan
undang-undang. Positivisme hukum dibedakan dalam dua corak:
1. Aliran Hukum Positif Analitis: John Austin
(1790-1859)
Hukum
adalah perintah dari penguasa negara. Hakikat hukum sendiri menurut Austin
terletak pada unsur perintah. Hukum dipandang sebagai suatu sistem yang tetap,
logis, dan tertutup. Pihak superior yang menentukan apa yang diperbolehkan.
Kekuasaan dari superior memaksa orang lain untuk taat. Ia memberlakukan hukum
dengan cara menakut-nakuti, dan mengarahkan tingkah laku orang lain ke arah
yang diinginkannya. Hukum adalah perintah yang memaksa, yang dapat saja
bijaksana dan adil, atau sebaliknya.
2. Aliran Hukum Murni: Hans Kelsen
(1881-1973)
Menurut
Kelsen, hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir yang nonyuridis, seperti
unsur sosiologis, politis, historis, bahkan etis. Pemikiran inilah yang dikenal
dengan Teori Hukum Murni (Reine
Rechtlehre) dari Kelsen. Baginya, hukum adalah suatu keharusan yang
mengatur tingkah laku manusia sebagai makhluk rasional. Dalam hal ini yang
dipersoalkan oleh hukum bukanlah “bagaimana
hukum itu seharusnya“ (what the law ought to be), tetapi “apa hukumnya“ (what the law is).
Kelsen,
selain dikenal sebagai pencetus Teori Hukum Murni, juga dianggap berjasa
mengembangkan Teori Jenjang (Struffentheorie)
yang semula dikemukakan Adolf Merkl (1836-1896). Teori ini melihat hukum
sebagai suatu sistem yang terdiri dari susunan norma berbentuk piramida. Norma
yang lebih rendah memperoleh kekuatannya dari norma yang lebih tinggi. Norma
yang paling tinggi disebut Grundnorm.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar