Pemikiran hukum erat kaitannya dengan moral merupakan cara
berpikir dalam aliran hukum alam. Dalam aliran hukum positif, hukum dan moral
sama sekali tidak ada kaitannya. Hal ini dapat diamati dengan ciri-ciri
pengertian positivisme hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh H.L.A Hart
(1975: 287) antara lain:
- Hukum adalah perintah dari
manusia (command of human being).
- Tidak ada hubungan mutlak
antara “Hukum/ law” dan “Moral” sebagaimana yang berlaku/ ada dan hukum
yang seharusnya.
- Pengertian bahwa analisis
konsepsi hukum, pertama; mempunyai arti penting, kedua; harus dibedakan
dari penyelidikan seperti 1) Historis mengenai sebab musabab dan
sumber-sumber hukum; 2)Sosiologis mengenai hubungan hukum dengan gejala
sosial lainnya; 3) Penyelidikan hukum secara kritis atau penilaian, baik
yang didasarkan moral, tujuan sosial, dan fungsi hukum.
- Sistem hukum adalah sistem yang
logis, tetap dan bersifat tertutup dalam mana keputusan-keputusan hukum
yang benar/ tepat biasanya dapat diperoleh dengan alat-alat logika dari
peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan sebelumnya tanpa
memperhatikan tujuan sosial, politik, dan ukuran-ukuran moral.
- Pengertian bahwa
pertimbangan-pertimbangan moral tidak dapat dibuat atau dipertahankan
sebagai pernyataan kenyataan yang harus dibuktikan dengan
argumentasi-argumentasi rasional, pembuktian atau percobaan.
Konsep hukum hart yang dituangkan pada bukunya the concept
of law, menjelaskan bahwa pertama-tama hukum harus dipahami sebagai sistem
peraturan. Dengan pendapatnya bahwa hukum ternyata adalah suatu sistem
peraturan maka bisa di simpulkan ada sedikit kesamaan antara konsep hukun Hohn
Austin, yaitu teori hukum murni yang memurnikan hukum dari anasir-anasir asing
dengan konsep hukum H.L.A Hart tentang hukum harus dipahami sebagai sistem peraturan.
Melihat dari pernyataan Hart bahwa pertama-tama hukum harus
dipahami sebagai suatu sistem peraturan, ia membagi dua dalam konsep hukumnya
tentang peraturan itu, yaitu:
1. Peraturan Primer
peraturan primer terdiri dari standar-standar bagi tingkah
laku yang membebankan berbagai kewajiban. Peraturan-peraturan primer menentukan
kelakuan-kelakuan subjek-subjek hukum, dengan menyatakan apa yang harus
dilakukan, apa yang dilarang.Aturan yang masuk dalam jenis ini muncul sebagai
akibat dari kebutuhan masyarakat itu sendiri. Adapun kekuatan mengikat dari
berbagai aturan jenis ini didasarkan dari penerimaan masyarakat secara
mayoritas.
Komunitas prahukum hidup berdasarkan kebiasaan yang lazim
ditemukan dalam masing-masing komunitas masyarakat. Struktur sosial yang
mengatur perilaku masyarakat prahukum inilah yAng oleh Hart disebutnya sebagai
“peraturan primer” atau tepatnya “peraturan kewajiban primer”. Peraturan primer
ini kurang lebih sama dengan sopan santun atau etiket. Hart menyebutnya
demikian kerena peraturan ini berfungsi sebagai prinsip pokok yang menjadi
panduan perilaku manusia. Lebih lanjut Hart menjelaskan bahwa peraturan
primer tersebut hanya bisa efektif mengatur tata tertib sosial apabila
1.
membuat
pembatasan terhadap kekerasan, pencurian, dan penipuan.
2.
Mendapat
dukungan mayorita.
3.
Masyarakat
relatif memiliki keterikatan primodial ((misalnya ikatan darah, perasaan, dan
keyakinan
Akan tetapi, walaupun meskipun peratutan primer telah
memenuhi syarat-syarat tersebut, peraturan primer belum tentu berlaku efektif
seperti halnya hukum. Alasannya, peraturan primer bukanlah sistem hukum,
melainkan sejumlah standar umum yang terpisah satu sama lain. Meskipun
berfungsi sebagai struktur sosial, peraturan primer memiliki beberapa kelemahan
mendasar.
1. Dalam peraturan primer tidak ada
lembaga atau otoritas resmi yang berfungsi melakukan penilaian dan penyelesaian
konflik. Akibatnya terjadi ketidak pastian dalam pekaksanaan peraturan primer.
2. Peraturan primer bersifat statis.
Bila terjadi perubahan, maka perubahan itu berjalan begitu lamban sehingga
tidak cukup responsif terhadap perkembangan masyarakat. Karena dalam skemanya,
masih dibutuhkan proses dimana peraturan itu harus menjadi kebiasaan terlebih
dahulu sebelum diterima dan diakui sebagai kewajiban yang harus dipenuhi. Bahkan kadangkala peraturan
primer ini bersifat statis dalam arti radikal dan sulit sekali untuk dirubah.
3. Inefisiensi dalam penegakan
peraturan primer. Dapat saja terjadi perdebatan berkepanjangan apakah terjadi
pelanggaran atua tidak terhadap peraturan tertentu tanpa adanya penyelesaian
yang jelas karena peraturan primer tidak memiliki otoritas penentu terakhir.
b.
Peraturan
Sekunder
Aturan-aturan sekunder adalah sekelompok aturan yang
memberikan kekuasaan untuk mengatur penerapan aturan-aturan hukum yang
tergolong kedalam kelompok yang sebelumnya atau aturan-aturan primer.
Aturan-aturan yang dapat digolongkan kedalam kelompok ini adalah aturan yang
memuat prosedur bagi pengadopsian dan penerapan hukum primer. Berisi pemastian
syarat-syarat bagi pelakunya kaidah-kaidah primer dan dengan demikian
menampakkan sifat yuridis kaidah kaidah-kaidah itu.
Berdasarkan kelemehan-kelemaha peraturan primer, menurut
Hart, jalan keluarnya untuk mengatasi permasalahan itu adalah harus ada
peraturan sekunder. Dengan begitu peraturan sekunder berfungsi untuk mengatur
lebih lanjut peraturan prmer. Paraturan sekunder berisi penjelasan cara dimana
peraturan primer secara pasti ditegaskan, diperkenalkan, dibuang, dan fakta
pelanggarannya juga ditentukan secara pasti.
Peraturan
sekunder dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu:
1.
Peraturan
pengakuan
Peraturan pengakuan adalah peraturan yang berfungsi
mengatasi problem ketidak pastian peraturan primer
2.
Peraturan
perubahan
Peraturan perubahan adalah peraturan yang vberfungsi untuk
mengatasi masalah berkaitan dengan siat status peraturan primer
3.
Peraturan
penilaian dan penyelesaian konflik
Peraturan ini menetapkan mekanisme untuk mengatasi problem
inefiensi dalam peraturan primer.
sumber : http://ilhamendra.wordpress.com/2010/11/12/analitical-jurisprudence-%E2%80%9Cjohn-austin%E2%80%9D/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar