A. Paradigma
Positivisme Hukum
Positivisme
hukum lahir pada abad ke-19 di tengah pergulatan teoretisi hukum Eropa. Positivisme
hukum lahir sebagai kritik atas paradigma berhukum saat itu yang dianggap
terlalu idealis dan tidak mempu memenuhi hasrat kepastian hukum (law certainty)
karena mengabaikan aspek kodifikatif dari hukum yang menurutnya merupakan
jantung penegakan hukum dalam rangka menciptakan kepastian hukum.
Abad ke-19
menerima warisan pemikiran dari masa-masa sebelumnya yang idealis, semisal
paradigma hukum alam. Dinamika masyarakat abad itu menunjukkan suatu
kecenderungan karakter berpikir yang semakin kritis dan mengarah ke positivisme
kebenaran terhadap masalah-masalah yang dihadapi. Positivisme hukum menganggap
betapa pemikiran hukum a priori telah gagal menghadirkan suatu sintesa berhukum
yang baik dan falsifikatif karena berangkat dari penalaran yang buruk (Dias,
dalam Satjipto Rahardjo, 1991).
Positivisme
sebagai dasar dari positivisme hukum berpangkal pada filsafat Immanuel Kant
yang mengaggap bahwa manusia tidak dapat menangkap realitas alam selain dengan
ilmu pengetahuan. Munculnya negara modern yang semakin memisahkan domain
politik dan hukum secara simultan melahirkan kelas-kelas sosial yang menuntut
pengorganisasian secara elegan oleh suatu otoritas yang legitimatif, yaitu
hukum (Saifullah, 2007). Disinilah letak dasar pemikiran positivistik; bahwa hukum
harus dikodifikasi agar hukum dapat menjalankan fungsi sebagai otoritas yang
mengatur dan mensinergikan segenap kelas dan kepentingan sosial di masyarakat
serta menjamin terwujudnya kepastian hukum.
Tokoh penting
dalam positivisme hukum adalah John Austin dan Hans Kelsen dengan Teori Hukum
Murni-nya. John Austin, sebagai salah satu perintis mazhab ini mendefinisikan
hukum sebagai:
“a rule laid down for the guidance of intelligent being by an intelligent being having power over him”
“Peraturan yang diadakan untuk memberi bimbingan kepada makhluk yang berakal oleh makhluk yang berkuasa atasnya” (Saifullah, 2007; Otje Salman, 2009)
Theo Huijbers (1982)
mengemukakan bahwa paradigma positivisme terbagi atas tiga poros pemikiran,
yaitu:
1. Positivisme
sosiologis, yang memandang hukum sekedar sebagai gejala sosial, sehingga hukum
hanya dapat diselidiki melalui suatu ilmu pengetahuan yang baru, yaitu
Sosiologi.
2. Positivisme
yuridis, yang melihat dan mengkaji hukum secara esoteristik, yaitu
mempersoalkan pemaknaan hukum sebagai gejala (fenomena) tunggal. Pelopor metode
(aliran) ini adalah Rudolf von Jhering.
3. Positivisme
umum (ajaran umum), dipelopori oleh Adolf Merkl, Karl Bergbohm, Ernst Bierling,
dan John Austin. Termasuk pula dalam aliran ini adalah Hans Kelsen (Reine
rechts lehre atau Pure legal theory) dan HLA. Hart dengan neopositivisme.
HLA Hart (Rahardjo, 1991; Achmad Ali, 1996) mengemukakan beberapa
pengertian positivisme hukum sebagai berikut:
1.
Hukum adalah perintah (that laws are commands of human
beings).
2.
Analisis terhadap konsep-konsep hukum merupakan sesuatu
yang patut dilakukan secara signifikan dan komprehensif. Analisis yang berbeda
dengan analisis sosiologis, antropologis, maupun penilaian kritis terhadap
hukum.
3.
Keputusan-keputusan dapat dideduksikan dalam secara
logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada lebih dahulu serta tidak
menjadikan tujuan-tujuan sosial, aspek kebijakan, dan moralitas sebagai patron.
4.
Penghukuman (judgement) secara moral tidak dapat
ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian, maupun
pengujian karena berkaitan dengan dimensi psikologis yang tidak terukur.
5.
Hukum
sebagaimana diundangkan, ditetapkan, dan positum (ius constitutum) harus
senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan dan yang diinginkan
(ius constituendum). Menurut Hart, inilah substansi positivisme itu sendiri.
John Austin,
sebagai salah satu pilar dari positivisme hukum mengemukakan bahwa satu-satunya
sumber hukum adalah kekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara. Sumber-sumber
yang lain dianggap sebagai sumber yang rendah atau lemah (subordinate sources)
dan karenanya tidak memiliki kekuatan mengikat sepanjang aturan dari penguasa
ada. Sumber-sumber yang lebih rendah tersebut (penulis menyebutnya sebagai
sumber inferior), bagi Austin sejatinya tidak dianggap sama sekali oleh Austin
karena baginya sumber itu tidak memiliki kekuatan mengikat dan memaksa. Salah
satu konsep dasar dari Austin yang juga menjadi episentrum positivisme hukum
adalah sifat otonom hukum dan dapat mencukupi dirinya sendiri (self-sufficient)
(Rahardjo, 1991). Ini mengindikasikan bahwa, Austin melihat hukum sebagai
entitas yang independen dan adekuat sehingga anasir-anasir non hukum harus
dipinggirkan agar tidak mengganggu prosesi internal dalam hukum itu sendiri,
serta menjaga wibawa dan efektifitas hukum dalam menyelesaikan masalah-masalah
yang terjadi di masyarakat.
Bagi John Austin, hukum merupakan perintah dari kekuasaan yang berdaulat. Kedaulatan itulah yang menyebabkan hukum memiliki kekuatan mengikat dan memaksa bagi setiap warga negara untuk mematuhinya dan memberikan sanksi bagi setiap pelanggaran yang dilakukan. Sejatinya, Austin memandang bahwa hukum harus dilembagakan dan dikodifikasi agar hukum benar-benar dapat menjadi patron. Dapat dibayangkan jika hukum tidak diundangkan atau dibuat dalam suatu peraturan tertulis, maka gesekan atau benturan legal reasoning menyebabkan hukum berada pada posisi inferior. Inilah yang sesungguhnya ditakutkan oleh Austin; bahwa hukum kemudian tidak memiliki wibawa untuk mengatur masyarakat.
Bagi John Austin, hukum merupakan perintah dari kekuasaan yang berdaulat. Kedaulatan itulah yang menyebabkan hukum memiliki kekuatan mengikat dan memaksa bagi setiap warga negara untuk mematuhinya dan memberikan sanksi bagi setiap pelanggaran yang dilakukan. Sejatinya, Austin memandang bahwa hukum harus dilembagakan dan dikodifikasi agar hukum benar-benar dapat menjadi patron. Dapat dibayangkan jika hukum tidak diundangkan atau dibuat dalam suatu peraturan tertulis, maka gesekan atau benturan legal reasoning menyebabkan hukum berada pada posisi inferior. Inilah yang sesungguhnya ditakutkan oleh Austin; bahwa hukum kemudian tidak memiliki wibawa untuk mengatur masyarakat.
Hukum
merupakan perintah dari yang mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau dari
yang memegang kedaulatan. John Austin menganggap hukum sebagai suatu sistem
yang logis, tetap dan bersifat tertutup, sehingga anasir-anasir non hukum
dianggap tidak penting. Hukum yang sebenarnya mengandung 4 unsur, yaitu (Imran
Nating, 2008; Otje Salman, 2009):
1. Perintah
2. Sanksi
(sesuatu yang buruk yang melekat pada perintah)
3. Kedaulatan
4. Kewajiban
Achmad Ali (1996)
mengikhtisarkan ajaran John Austin sebagai berikut:
1. Hukum
adalah perintah dari pihak yang berdaulat (law was the command of the
sovereign).
2. Ilmu hukum selalu berkaitan dengan hukum
positif atau dengan ketentuan-ketentuan lain yang secara tegas dapat disebut
demikian, dengan tidak melihat aspek kebaikan dan keburukannya (aspek
moralitas).
3. Konsep tentang kedaulatan negara (doctrine of
sovereignty) mewarnai hampir keseluruhan ajaran John Austin. Konsep tersebut
terjabarkan sebagai berikut:
A. Kedaulatan
yang digunakan dalam ilmu hukum menunjuk pada suatu atribut negara yang bersifat
internal maupun eksternal.
B. Sifat
eksternal dari kedaulatan negara tergambar dalam hukum internasional, sedangkan
sifat internalnya tergambar dari hukum positif (hukum yang berlaku di negara
itu).
C. Pelaksanaan
kedaulatan sebagai dimaksud tersebut membutuhkan ketaatan.
d. Ada perbedaan antara ketaatan terhadap kedaulatan negara dengan ketaatan terhadap faktor eksternal lainnya, misalnya dalam kasus penodongan. Ketaatan terhadap kedaulatan negara didasarkan pada legitimasi (didasarkan pada undang-undang dan diakui secara sah) sementara dalam faktor lain (misalnya penodongan) tidak demikian, melainkan lebih karena ketakutan dan keterpaksaan.
d. Ada perbedaan antara ketaatan terhadap kedaulatan negara dengan ketaatan terhadap faktor eksternal lainnya, misalnya dalam kasus penodongan. Ketaatan terhadap kedaulatan negara didasarkan pada legitimasi (didasarkan pada undang-undang dan diakui secara sah) sementara dalam faktor lain (misalnya penodongan) tidak demikian, melainkan lebih karena ketakutan dan keterpaksaan.
John Austin
menyebut ajarannya sebagai positivisme analitik dan menamakannya konsepnya The
Imperative School. Konsep ini membagi hukum menjadi dua, yaitu (Saifullah,
2007):
1. Law
set by God to men atau hukum yang berasal dari Tuhan dan diperuntukkan bagi
manusia.
2. Law
set by men to men atau hukum yang diciptakan oleh manusia dan diperuntukkan
bagi manusia. Hukum ini terbagi atas:
A. Hukum
dalam arti yang sebenarnya (hukum positif, laws properly so called), memiliki
empat unsur, yaitu:
1. Perintah
2. Sanksi
3. Kewajiban
4. Kedaulatan
Segala
ketentuan yang tidak mengandung empat unsur tersebut di atas, bukan hukum
melainkan hanya moralitas. Inilah episentrum ajaran Austin, bahwa hukum harus
dipisahkan dari konsep moralitas.
B. Hukum
yang tidak sebenarnya (laws improperly so called), karena tidak memenuhi
persyaratan sebagai hukum; tidak dibuat oleh penguasa. Austin berpendapat bahwa
sumber hukum satu-satunya adalah kekuasaan yang tertinggi sedangkan sumber yang
lain rendah.
Rudolf von
Jhering merupakan generasi pelanjut ajaran John Austin. Aksentuasinya pada
rasionalitas-utilitarisme hukum. Hukum, selain sebagai peraturan yang dibuat
oleh penguasa yang berdaulat, dimaksudkan sebagai alat untuk mencapai tujuan,
sehingga eksistensi hukum bergantung pada paksaan dan kewenangan memaksa mutlak
milik negara (Saifullah, 2007).Rasionalisasi hukum berlangsung dalam dua tahap,
yaitu (Saifullah,2007:
1. Niedere
jurisprudence, yaitu teknik hukum dengan penyederhanaan dari kuantitas yang
berarti pengurangan jumlah kaidah hukum dengan analisis yuridis, konsentrasi
logis, sistematik-yuridis, penentuan terminologidan ekonomi yuridis.
2. Begriffjurisprudence,
yaitu teknik penyederhanaan bahan hukum dari segi kualitas yang berarti
peningkatan hukum menjadi gagasan dan institusi-institusi.
Konsep von Jhering tentang Rasionalitas-Utilitarianisme menempatkan “kepentingan” sebagai tujuan hukum dengan deskripsi yang menggabungkan pandangan Jeremy Bentham dan John Austin. Von Jhering mengartikan “kepentingan” sebagai upaya yang sistematis dan komprehensif dalam memperoleh kesenangan dan menghindari penderitaan, dan kepentingan individu dijadikan sebagai bagian dari tujuan sosial dengan menghubungkan tujuan-tujuan pribadi tersebut dengan kepentingan pribadi lainnya (Saifullah, 2007).
Konsep von Jhering tentang Rasionalitas-Utilitarianisme menempatkan “kepentingan” sebagai tujuan hukum dengan deskripsi yang menggabungkan pandangan Jeremy Bentham dan John Austin. Von Jhering mengartikan “kepentingan” sebagai upaya yang sistematis dan komprehensif dalam memperoleh kesenangan dan menghindari penderitaan, dan kepentingan individu dijadikan sebagai bagian dari tujuan sosial dengan menghubungkan tujuan-tujuan pribadi tersebut dengan kepentingan pribadi lainnya (Saifullah, 2007).
Selain John
Austin dan Rudolf von Jhering, tokoh penting yang patut ditelaah ajarannya
adalah Hans Kelsen dengan Pure Legal Theory-nya. Bagi Kelsen, sistem hukum
merupakan sistem pertanggapan dari kaidah-kaidah dimana suatu kaidah hukum
tertentu akan dapat ditemui sumbernya pada kaidah hukum yang lebih tinggi
derajatnya. Kaidah yang menjadi puncak dari segala kaidah ini disebut dengan
grundnorm (Otje Salman, 2009).
Konsep yang
dikembangkan oleh Hans Kelsen dihasilkan dari analisis perbandingan hukum
positif yang berbeda-beda membentuk suatu konsep dasar yang merepresentasikan
suatu komunitas hukum. Masalah utama dalam teori umum adalah normah hukum,
elemen-elemennya, hubungannya, tata hukum sebagai suatu kesatuan, struktur,
hubungan antara tata hukum yang berbeda, dan akhirnya kesatuan hukum di dalam
pluralitas tata hukum. Teori Hukum Murni membedakan secara jelas antara hukum
empiris (hukum yang berlaku) dan keadilan transendental dengan mengeluarkannya
dari lingkup kajian hukum. Hukum bukan merupakan manifestasi dari otoritas
¬super-human, tetapi merupakan suatu teknik sosial yang spesifik berdasarkan
pengalaman manusia (Jimly Ash Shiddieqy & Ali Safa’at, 2006).
v Kritik
atas Positivisme Hukum
Positivisme
hukum berangkat dari pandangan awal bahwa hukum harus dikodifikasikan dalam
suatu konstruk perundangan untuk memisahkannya dengan norma-norma lainnya
sekaligus mencirikan positivisme hukum yang bermuara pada terciptanya kepastian
hukum. Kepastian dimaksud adalah adanya keyakinan yang kuat bahwa aturan-aturan
yang ditaati serta dijalankan oleh aparatur negara benar-benar sesuai dengan
amanat undang-undang, tidak didasarkan pada analisis meta undang-undang, yaitu
nilai-nilai abstrak yang menjadi pegangan dan pedoman hidup masyarakat.
Positivisme
sejatinya memiliki iktikad baik, terutama dalam mengakomodir perkembangan dan
kebutuhan masyarakat akan sistem hukum yang lebih sistematis dan positivistik.
Kepastian hukum menjadi harga mati untuk membangun negara yang mengedepankan
hukum dan menjadikan hukum sebagai panglima. Akan tetapi, positivisme
mengabaikan dan bahkan menganggap tidak penting norma-norma di luar hukum yang
sejatinya hidup dan berkembang di masyarakat. Bahkan, secara diametral,
Satjipto Rahardjo (2008) pernah mengemukakan bahwa dalam jagad ketertiban,
hukum bukanlah ototritas tunggal yang bermain di dalamnya. Sekalian norma dan
nilai yang hidup di masyarakat tidak dapat diabaikan begitu saja perannya dalam
menciptakan ketertiban dan “keteraturan” hukum di masyarakat. Beliau
mencontohkan Jepang yang hidup dengan prinsip “kokoro” atau “hati nurani”.
Hukum kemudian tidak dipandang sebagai otoritas tertinggi, melainkan kesadaran
internal dan nurani lah yang dapat menciptakan ketertiban dan kehidupan
masyarakat yang bercirikan keadilan. Bahkan, dalam bahasa yang sedikit “nakal”,
Satjipto Rahardjo pernah berseloroh, kalau di Jepang tidak ada hukum, maka
Jepang akan baik-baik saja, berbeda dengan di Amerika Serikat, bila tidak tidak
ada hukum, maka negara tersebut akan menjadi “the wild wild west” atau liarnya
barat yang liar.
Apa yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo tersebut menunjukkan bahwa di dalam masyarakat sendiri, ada mekanisme-mekanisme sosial yang yang senantiasa bekerja, apakah berbarengan atau berjalan sendiri-sendiri dengan hukum, untuk menciptakan situasi masyarakat yang aman dan damai. Meski diakui hukum positif memiliki legitimasi yang kuat, tetapi tidak berarti kehadirannya menyebabkan matinya mekanisme sosial yang secara alamiah bekerja dalam masyarakat.
Apa yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo tersebut menunjukkan bahwa di dalam masyarakat sendiri, ada mekanisme-mekanisme sosial yang yang senantiasa bekerja, apakah berbarengan atau berjalan sendiri-sendiri dengan hukum, untuk menciptakan situasi masyarakat yang aman dan damai. Meski diakui hukum positif memiliki legitimasi yang kuat, tetapi tidak berarti kehadirannya menyebabkan matinya mekanisme sosial yang secara alamiah bekerja dalam masyarakat.
Karl Marx (R.
Herlambang Wiratraman, 2008) bahkan pernah mengkritik habis-habisan doktrin
posititivisme hukum. Menurutnya, proses-proses hukum sejatinya merupakan proses
yang dialektis dan dinamis serta diwarnai dengan berbagai konflik. Konflik
antara satu kepentingan dengan kepentingan lainnya merupakan hal yang antitesis
dengan paradigma positivisme hukum. Marx kemudian mencurigai bekerjanya hukum
sebagai dikendalikan oleh kalangan elit yang kemudian mencederai aspirasi
masyarakat yang tergambar dalam akomodasi secara massif kepentingan-kepentingan
elit sekaligus mengabaikan kepentingan masyarakat. Hukum kemudian berubah dari
kerangka mewujudkan keadilan sosial menjadi kerangka pengakomodasian
kepentingan-kepentingan elit. Implikasi lebih lanjut, masyarakat tetap menjadi
kaum “papa” yang terlindas oleh kaum elit melalui ekspansi kekuasaan yang
secara vulgar mengangkangi habitat aspirasi masyarakat. Masyarakat tidak lagi
dilihat sebagai mitra dalam penegakan hukum, melainkan sebagai objek yang
senantiasa berada dalam posisi inferior. Inilah yang menjadikan Marx sangat
menentang doktrin positivisme hukum yang divonisnya sebagai permainan “picik” dari
kaum elit untuk mengakomodir kepentingan-kepentingannya.
Bahwa kemudian positivisme hukum dianggap dapat menciptakan kepastian hukum tidaklah salah, akan tetapi, tidak sepenuhnya benar. Karena sekali lagi, Charles Sampford (Satjipto Rahardjo, 2008) menganggap bahwa hukum penuh dengan ketidakaturan. Kepastian hukum bukanlah proses yang instan, melainkan secara gradual (bertahap) tercapai melalui dialektika proses-proses internal dalam hukum dengan mekanisme-mekanisme sosial yang bekerja dalam masyarakat. Sementara positivisme menganggap eksistensi undang-undang menjamin kepastian hukum, penulis, dengan menyimpulkan pendapat Charles Sampford tadi lebih menganggapnya sebagai kepastian undang-undang, karena kepastian hukum tidak hanya tercermin dari ada tidaknya undang-undang yang mengaturnya, melainkan terinternalisasinya aturan-aturan tersebut dalam masyarakat serta kesejajarannya dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat.
Bahwa kemudian positivisme hukum dianggap dapat menciptakan kepastian hukum tidaklah salah, akan tetapi, tidak sepenuhnya benar. Karena sekali lagi, Charles Sampford (Satjipto Rahardjo, 2008) menganggap bahwa hukum penuh dengan ketidakaturan. Kepastian hukum bukanlah proses yang instan, melainkan secara gradual (bertahap) tercapai melalui dialektika proses-proses internal dalam hukum dengan mekanisme-mekanisme sosial yang bekerja dalam masyarakat. Sementara positivisme menganggap eksistensi undang-undang menjamin kepastian hukum, penulis, dengan menyimpulkan pendapat Charles Sampford tadi lebih menganggapnya sebagai kepastian undang-undang, karena kepastian hukum tidak hanya tercermin dari ada tidaknya undang-undang yang mengaturnya, melainkan terinternalisasinya aturan-aturan tersebut dalam masyarakat serta kesejajarannya dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat.
sumber : http://ilhamendra.wordpress.com/2010/11/12/analitical-jurisprudence-%E2%80%9Cjohn-austin%E2%80%9D/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar