A. Positivisme
Positivisme
adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya
sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan
metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris.
Sesungguhnya
aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk
memperoleh pengetahuan (seperti yang diusung oleh kaum idealisme khususnya
idealisme Jerman Klasik).
Positivisme
merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan
logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu
atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan. Terdapat
tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu:
1.
Tempat
utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun perhatiannya
juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Auguste Comte dan
tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E.
Littre, P. Laffitte, Jhon Stuwar Mill
dan Spencer.
2.
Munculnya
tahap kedua dalam positivisme – empirio-positivisme – berawal pada tahun 1870-1890-an
dan berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya meninggalkan pengetahuan
formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri
positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari
sudut pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme.
3.
Perkembangan positivisme tahap terakhir
berkaitan dengan lingkaran Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap,
Schlick, Frank, dan lain-lain. Serta kelompok yang turut berpengaruh pada
perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua
kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis, positivisme
logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini diantaranya
tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain.
B. Positivisme Logis
Dalam
perkembangannya, positivisme mengalami perombakan dibeberapa sisi, hingga
munculah aliran pemikiran yang bernama Positivisme Logis yang tentunya di
pelopori oleh tokoh-tokoh yang berasal dari Lingkaran Wina.
Positivisme
logis adalah aliran pemikiran dalam filsafat yang membatasi pikirannya pada
segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi
dan relasi antara istilah-istilah. Fungsi analisis ini mengurangi metafisika
dan meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah. Tujuan dari pembahasan ini
adalah menentukan isi konsep-konsep dan pernyataan-pernyataan ilmiah yang dapat
diverifikasi secara empiris.
Tujuan
akhir dari penelitian yang dilakukan pada positivisme logis ini adalah untuk
mengorganisasikan kembali pengetahuan ilmiah di dalam suatu sistem yang dikenal
dengan ”kesatuan ilmu” yang juga akan menghilangkan perbedaan-perbedaan antara
ilmu-ilmu yang terpisah. Logika dan matematika dianggap sebagai ilmu-ilmu formal.
Positivisme
berusaha menjelaskan pengetahuan ilmiah berkenaan dengan tiga komponen yaitu
bahasa teoritis, bahasa observasional dan kaidah-kaidah korespondensi yang
mengakaitkan keduanya. Tekanan positivistik menggarisbawahi penegasannya bahwa
hanya bahasa observasional yang menyatakan informasi faktual, sementara
pernyataan-pernyataan dalam bahasa teoritis tidak mempunyai arti faktual sampai
pernyataan-pernyataan itu diterjemahkan ke dalam bahasa observasional dengan
kaidah-kaidah korespondensi.
Auguste
Comte adalah tokoh aliran positivisme yang paling terkenal. Kaum positivis
percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dimana metode-metode
penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum sosial
kemasyarakatan. Aliran ini tentunya mendapat pengaruh dari kaum empiris dan
mereka sangat optimis dengan kemajuan dari revolusi Perancis.
Positivisme menurut mendasari diri pada alur pemikiran
manusia, maka menurut Auguste Comte) ada
3 tahap pemikiran manusia yaitu :
(i)
tahap teologi yang di dalam tahap
ini semua fenomena diterangkan dengan mengacu kepada kausa yang bersifat
supernatural dan intervensi dari yang ilahi;
(ii)
tahap metafisik yang di dalam tahap
ini pemikiran diarahkan kepada prinsip-prinsip dan gagasan yang mendasar yang
dipandang sebagai sesuatu yang ada di bawah permukaan apa yang ada tersebut dan
yang membangun kekuatan yang riil dalam evolusi manusia;
(iii)
tahap positif yang di dalam tahap ini menolak
segala konstruksi yang bersifat hipotesis dalam filsafat, sejarah, dan ilmu
pengetahuan dan membatasi diri pada pengamatan empirik dan hubungan di antara
fakta berdasarkan metode yang digunakan di dalam ilmu-ilmu alamiah
Pendiri
filsafat positivis yang sesungguhnya adalah Henry de Saint Simon yang menjadi
guru sekaligus teman diskusi Auguste
Comte. Menurut Simon untuk memahami sejarah, orang harus mencari hubungan sebab akibat,
hukum-hukum yang menguasai proses perubahan.
Auguste
Comte menuangkan gagasan positivisnya dalam bukunya the
Course of Positivie Philosoph, yang merupakan sebuah ensiklopedi mengenai evolusi filosofis
dari semua ilmu dan merupakan suatu pernyataan yang sistematis yang semuanya
itu tewujud dalam tahap akhir perkembangan. Perkembangan ini diletakkan dalam
hubungan statika dan dinamika, dimana statika yang dimaksud adalah kaitan
organis antara gejala-gejala ( diinspirasi dari de Bonald), sedangkan dinamika
adalah urutan gejala-gejala (diinspirasi dari filsafat sehjarah Condorcet).
Bagi
Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang
kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu :
1.
Metode ini diarahkan pada
fakta-fakta
2.
Metode ini diarahkan pada perbaikan
terus meneurs dari syarat-syarat hidu
3.
Metode ini berusaha ke arah
kepastian
4.
Metode ini berusaha ke arah
kecermatan.
Metode
positif juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu pengamatan, perbandingan,
eksperimen dan metode historis. Tiga yang pertama itu biasa dilakukan dalam
ilmu-ilmu alam, tetapi metode historis khusus berlaku bagi masyarakat yaitu
untuk mengungkapkan hukum-hukum yang menguasai perkambangan gagasan-gagasan.
Kritik
terhadap Auguste Comte adalah
Karl Popper dengan asumsi pokok
teorinya adalah satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta
yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya, dan Popper menyajikan teori ilmu
pengetahuan baru ini sebagai penolakannya atas positivisme logis yang
beranggapan bahwa pengetahuan ilmiah pada dasarnya tidak lain hanya berupa generalisasi
pengalaman atau fakta nyata dengan menggunakan ilmu pasti dan logika. Dan
menurut positivisme logis tugas filsafat ilmu pengetahuan adalah menanamkan
dasar untuk ilmu pengetahuan.
Hal
yang dikritik oleh Popper pada Positivisme Logis adalah tentang metode Induksi,
ia berpendapat bahwa Induksi tidak lain hanya khayalan belaka, dan mustahil
dapat menghasilkan pengetahuan ilmiah melalui induksi. Tujuan Ilmu Pengetahuan
adalah mengembangkan pengetahuan ilmiah yang berlaku dan benar, untuk mencapai
tujuan tersebut diperlukan logika, namun jenis penalaran yang dipakai oleh
positivisme logis adalah induksi dirasakan tidak tepat sebab jenis penalaran
ini tidak mungkin menghasilkan pengetahuan ilmiah yang benar dan berlaku,
karena elemahan yang bisa terjadi adalah kesalahan dalam penarikan kesimpulan,
dimana dari premis-premis yang dikumpulkan kemungkinan tidak lengkap sehingga
kesimpulan atau generalisasi yang dihasilkan tidak mewakili fakta yang ada. Dan
menurutnya agar pengetahuan itu dapat berlaku dan bernilai benar maka penalaran
yang harus dipakai adalah penalaran deduktif.
Penolakan
lainnya adalah tentang fakta keras, Popper berpendapat bahwa fakta keras yang
berdiri sendiri dan terpisah dari teori sebenarnya tidak ada, karena fakta
keras selalu terkait dengan teori, yakni berkaitan pula dengan asumsi atau
pendugaan tertentu. Dengan demikian pernyataan pengamatan, yang dipakai sebagai
landasan untuk membangun teori dalam positivisme logis tidak pernah bisa
dikatakab benar secara mutlak.
B. Positivisme Hukum
Aliran
hukum positif berangkat dari pandangan bahwa hukum tidak berasal dari Tuhan
atau alam, melainkan dari manusia sendiri berdasarkan kemampuannya untuk
merumuskan ketentuan hukum yang sumbernya dapat saja digali dari nilai-nilai
yang berkembang di masyarakat. Hukum lahir untuk mengikat masyarakat karena
adanya perjanjian sosial (social contract), manusia sendirilah yang memang
menghendaki. Aliran hukum positif memandang perlu untuk memisahkan secara tegas
antara hukum dan moral. Dalam kacamata positivis, tiada hukum kecuali perintah penguasa, bahkan aliran
positivitas legalisme menganggap bahwa hukum identik dengan undang-undang.
Pengaruh
positivis modern telah memasuki segala sektor keilmuan. Ditandai dengan
kebangkitan semangat Eropa, melalui Renaisance, sebagai abad pencerahan yang
diyakini akan mampu membawa harapan melalui ilmu pengetahuan pada orde
peradaban yang dapat memecahkan segala persoalan hidup manusia. Besamaan dengan
ini itu teknologi (spiritualisme) menjadi semakin memudar karena keberadaannya
dianggap sudah tidak mampu mengatasi persoalan-persoalan hidup yang nyata.
Implikasi semangat positivis telah membawa pembaharuan di berbagai bidang ilmu
pengetahuan sosial, politik, ekonomi, hukum dan bidang-bidang lain.
Di
bidang hukum sejak lebih kurang 200 tahun, negara-negara di dunia menggunakan
konsep hukum modern. Praktis, hukum menghadapi pertanyaan yang spesialistik,
teknologis, bukan pertanyaan moral. Keadaan yang demikian itu sangat kuat
nampak pada hukum sebagai profesi. Kaum professional adalah orang-orang yang
ahli dalam perkara perundang-undangan, tetapi jangan ditanyakan kepada mereka
tentang urusan moral atau moralitas. Ekses hukum di Amerika yang sudah menjadi
bisnis mengundang orang untuk berkomentar bahwa sifat kesatrian, professional oblesse, menolong orang yang susah sudah
semakin luntur. Tipe bantuan hukum yang demikian itu disebut sebagai penembak
bayaran.
Sebagai
reaksi dari modernisme, muncul pemikiran yang dikenal post positivismodern yang kehadirannya merupakan gugatan terhadap
kehidupan masyarakat barat yang bercorak modern yang melihat realitas sebagai
keutuhan yang tertata dan bersifat rasional. Dengan ilmu pengetahuan yang
objektif, kemajuan peradaban manusia akan dicapai sesuai dengan garis linier.
Pemikiran post modernisme juga
mengandung kecenderungan-kecenderungan yang ditemukan di bidang hukum, seperti
upaya untuk mempertanyakan kembali tentang konsepsi kebenaran, keadilan,
demokrasi, relativisme, dan pluralisme dalam Hak Asasi Manusia (HAM).
Hukum
positif muncul bersamaan dengan berkembangnya tradisi keilmuan yang mampu
membuka cakrawala baru dalam sejarah umat manusia yang semula terselubung
cara-cara pemahaman tradisional. Hukum positif mengajarkan bahwa hukum
positiflah yang mengatur dan berlaku dibangun di atas norma yuridis yang telah
ditetapkan oleh otoritas negara yang didalamnya terdapat kecenderungan untuk
memisahkan antara kebijaksanaan dengan etika dan mengindentikkan antara
keadilan dengan legalitas yang didasarkan norma yuridis yang telah ditetapkan
oleh otoritas negara yang didalam terdapat kecenderungan untuk memisahkan
antara kebijaksanaan dengan etika dan mengindentikkan antara keadilan dengan
legalitas yang didasarkan atas aturan-aturan yang ditetapkan oleh
penguasa negara. John Austin menggambarkan hukum sebagai suatu aturan yang
ditentukan untuk membimbing makhluk berakal oleh makhluk berakal yang telah
memiliki kekuatan untuk mengalahkannya. Oleh karena itu, hukum harus dipisahkan
dari keadilan dan sebagai gantinya kebenaran hukum harus disandarkanpda ide-ide
baik dan buruk yang didasarkanpada ketetapan pada kekuasan yang tertinggi.
Positivisme
adalah aliran yang mulai menemui bentuknya dengan jelas melalui karya Auguste
Comte (1798-1857) dengan judul Course de Philoshopie
Positive. Positivisme
hanya mengikui fakta-fakta positif dan fenomena-fenomena yang bisa diobservasi
dengan hubungan obyektif fakta-fakta ini dan hukum-hukum yang menentukannya,
meninggalkan semua penyelidika menjadi sebab-sebab atau asal-usul tertinggi.
Seperti
diuraikan di atas bahwa Auguste Comte membagi evolusi menjadi tiga tahap,
pertama, tahap teologis dimana semua fenomena dijelaskan dengan menunjukkan
kepada sebab-sebab supernatural dan intervensi yang bersifat ilahi; kedua
tahap metafisika. Pada tahap ini,
pemikiran diarahkan menuju prinsi-prinsip dan ide-ide tertinggi yang dipahami
sebagai ada di bawah permukaan sesuati, dan ketiga, tahap positif yang menolak semua
konstruksi hipotesis dalam filsafat dan membatasi diri pada observasi empirik
dan hubungan fakta-fakta di bawah bimbingan metode-metode yang dipergunakan
dalam ilmu-ilmu alam.
Positivisme
oleh Hart diartikan sebagai berikut: pertama, hukum adalah perintah, kedua, analisis terhadap konsep-konsep
hukum adalah suatu yang berharga untuk dilakukan; ketiga, keputusan-keputusan dapat
didedukasikan secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada terlebih
dahulu tanpa menunjukkan kepada tujuan-tujuan sosial, kebijakan serta
moralitas; keempat,
penghukuman secar moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran
rasional, pembuktian atau pengujian, dan kelima, hukum sebagaimana diundangkan,
ditetapkan harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya
diciptakanyang diinginkan. Inilah yang sekarang sering diterima sebagai
pemberian arti terhadap positivisme.
Positivisme
merupakan suatu paham yang menuntut agar setiap metodologi yang dipikirkan
untuk menemukan kebenaran hendaklah memperlakukan realitas sebagai sesuatu yang
eksis dan objektif yang harus dilepaskan dari sembarang macam prokonsepsi
metafisis yang subjektif sifatnya. Pada saat diaplikasikan ke dalam pemikiran
hukum, positivisme menghendaki dilepaskannya pemikiran yuridis mengenai hukum
sebagaimana dianut olehpara eksponen aliran hukum kodrat. Oleh sebab itu,
setiap norma hukum haruslah eksis dalam alamnya yang objektif sebagai
norma-norma yang positif ditegaskan sebagi wujud kesepakatan kontraktual yang
kongkrit antara warga masyarakat. Hukum bukan lagi mesti dikonsepkan sebagai
asas-asas moral metayuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan, melainkan
sesuatu yang telah menjalani positivisasi sebagai legee atau lex guna menjamin
kepastian mengenai apa pula yang sekalipun normatif harus dinyatakan sebagai
hal-hal yang bukan terbilang hukum.
Dalam
negara modern, hukum positif dibuat oleh penguasa yang berdaulat. Penguasa
digambarkan sebagai manusia superior yang bersifat menentukan. Penguasa ini
mungkin seorang individu, sebuah lembaga, atau sekelompok individu.
Menurut John Austin, karakteristik hukum positif terletak pada karakteristik
imperatifnya. Artinya, hukum dipahami sebagai suatu perintah dari penguasa.
Pemikiran semacam itu kemudian dikembangkan Rudolf van Hearinga dan George
Jellinek yang menekankan pandangan pada orientasi untuk mengubah teori-teori
negara berdaulat sebagai gudang dan sumber kekuasaan hukum.
Paham
positivisme mempengaruhi kehidupan bernegara untuk mengupapayakan positivisasi
norma-norma keadilan agar segera menjadi norma perundang-undangan untuk
mempercepat terwujudnya negara bangsa yang diidealkan. Paham ini mempunyai
struktur yang terintegrasi kukuh secara sentral dan berotoritas sentral yang
tidak bisa dijabarkan, positivisasi hukum selalu memperoleh prioritas utama
dalam setiap upaya pembangunan hukum di negara-negara yang tumbuh modern dan
menghendaki kesatuan dan atau menyatukan. Tidak Cuma yang menuju ke nation
state, melainkan juga yang dulu menuju ke colonial state. Tak ayal pula,
positivisasi hukum selalu berhakikat sebagai proses nasionalisasi dan etaisasi
hukum menuju kemampuan negara dan pemerintah untuk monopoli kontrol sosial yang
formal lewat pendayagunaan hukum positif.
Hukum
adalah perintah penguasaan negara. Hakikat hukum menurut John Austin terletak
pada unsur perintah. Hukum dipandang sebagai suatu sistem yang tetap, logis,
dan tertutup. Karena itu, pihak penguasalah yang menentukan apa yang
diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Kekuasaan dari penguasa dapat
memberlakukan hukum dengan cara menakuti dn mengarahkan tingkah laku orang lain
ke arah yang diinginkan.
John
Austin, pada mulanya, membedakan hukum dalam dua jenis, yaitu hukum dari Tuhan
untuk manusia dan hukum yang dibuat oleh manusia dapat dibedakan dengan hukum
yang sebenarnya dan hukum yang tidak sebenarnya. Hukum yang sebenarnya inilah
yang disebut sebagai hukum positif yang meliputi hukum yang dibuat oleh
penguasa dan hukum yang disusun oleh manusia secara individual untuk
melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya. Hukum yang tidak sebenarnya
adalah hukum yang tidak dibuat oleh penguasa sehingga tidak memenuhi persyaratan
sebagai hukum. Hukum yang sebenarnya memiliki empat unsur yaitu perintah (Command), sangsi (sanction), kewajiban (duty), dan kedaulatan (soveignty).
Sementara
menurut Hans Kelsen, hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir non yuridis
seperti unsur sosiologis, politis, historis, bahkan nilai-nilai etis. Pemikiran
inilah yang dikenal dengan teori hukum murni (reine rechlehre). Jadi hukum adalah suatu kategori
keharusan (sollens kategorie) bukan kategori factual (sains kategorie). Hukum baginya merupakan suatu
keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai makhluk rasional.
Teori
hukum murni boleh dilihat bagai suatu pembangunan yang amat seksama dari aliran
positivisme. Ia menolak ajaran yang bersifat ideologis dan hanya menerima hukum
sebagaimana adanya, yaitu dalam bentuk peraturan-peraturan yang ada. Teori
hukum ini adalah teori tentang hukum positif. Ia berusaha untuk mempersoalkan
dan menjawab pertanyaan apakah hukumnya dan bukan bagaimana hukum yang
seharusnya. Karena itu, menurut Kelson keadilan sebagaimana lazimnya
dipertanyakan hendaknya dikeluarkan dari ilmu hukum. Ia adalah suatu konsep.
Ideologis, suatu ideal yang irasional. Pendapat yang mengemukakan bahwa
keadilan itu ada, ternyata tidak dapat memberikan batasan yang jelas sehingga menimbulkan
keadaan yang kontradiktif. Bagaimanapun keadilan itu tidak dapat dilepaskan
dari kehendak dan tindakan manusia. Ia tidak bisa menjadi subjek ilmu
pengetahuan. Apabila dipandang dari sudut pengetahuan rasional, yang ada hanya
kepentingan-kepentingan. Oleh karena itu, hanya ada konflik
kepentingan-kepentingan. (Uraian tentang Teori Hukum Murni akan dibahas
tersendiri di sub bab tersendiri).
Hans
Kelsen juga dikenal sebagai pencetus teori berjenjang, (stuffen
theory) teori
ini melihat hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari susunan norma
berbentuk piramida. Norma yang lebih rendah memperoleh kekuatan dari suatu
norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma akan semakin abstrak
sifatnya dan sebaliknya semakin rendah kedudukannya akan semakin kongkrit.
Norma yang paling tinggi menduduki puncak piramida yang disebut norma dasar (grund
norm). teori berjenjang pembahasan norma
hukum saja. Sebagai penganut dari aliran positif, hukum dipahami identik dengan
perundang-undangan yang dikeluarkan oleh penguasa.
Lahirnya
positivisme hukum merupakan pengaruh dari filsafat positivisme pada abad XIX.
Filsafat ini berpangkal dari apa yang diketahui, yang faktual, yang positif.
Segala uraian dan persoalan diluar apa yang ada sebagai fakta dan kenyataan
dikesampingkan. Oleh karena itu metafisika ditolak. Apa yang kita ketahui
secara positif adalah segala yang nampak, segala gejala. Berangkat dari akar
inilah positivisme hukum ada. Dengan dalih menggunakan logika dan metode ilmu
pasti ke dalam ilmu-ilmu sosial. Ilmu sosial (termasuk hukum di dalamnya) dalam
perkembanganya kemudian melahirkan karakteristik yang empiris, kaku, tertulis,
dan metodologis.
Hukum
selalu merupakan hukum positif dan positivisme hukum terletak pada fakta bahwa
hukum itu dibuat dan dihapuskan oleh tindakan manusia terlepas dari moralitas
dan sistem norma itu sendiri. Karena seperti diungkapkan Hans Kelsen bahwa “Hukum
harus dibersihkan dari anasir-anasir yang non yuridis, seperti unsur sosiologi,
historis dan etis“.
Pemikiran inilah yang dikenal dengan teori hukum murni (Reine
Rechtlehre) dari
Kelsen. Jadi, hukum adalah suatu Sollenkategore (kategori keharusan/ideal), bukan Seinkategorie (kategori faktual) .
Baginya
hukum adalah suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai makhluk
rasional. Dalam hal ini yang dipersoalkan oleh hukum bukanlah “bagaimana hukum
itu seharusnya”, tetapi “apa hukumnya”. Dengan demikian walaupun hukum itu Sollenkategorie, yang dipakai adalah hukum positif
(ius
constitutum)
bukan yang dicita-citakan (ius constituendum).
Pemikiran
Hans Kelsen tentang hukum sangat dipengaruhi oleh pemikiran Immanuel Kant. Dia
bahkan kemudian dimasukkan sebagai kaum Neokantian karena ia menggunakan
pemikiran Kant tentang pemisahan antara bentuk dan isi. Bagi Kelsen hukum berurusan
dengan bentuk (forma) bukan isi (material). Jadi, keadilan sebagai isi hukum
berada di luar hukum. Suatu hukum dengan demikian dapat saja tidak adil, tapi
ia tetaplah hukum karena dikeluarkan oleh penguasa Jadi, hukum dalam kacamata positivisme memang
tidak harus adil.( Uraian Teori Positivisme Hans Kelsen akan diuraikan dalamsub
bab tersendiri).
Gagasan
positivisme yang hendak mensaintifikasikan ilmu sosial sebagaimana ilmu alam
yang kaku, empiris namun nirkontekstual inilah yang diterapkan di Indonesia.
Tumbuh dalam ‘gerbong besar’ bernama sistem hukum kontinental warisan
pemerintah kolonial Belanda, sebagai masyarakat yang sadar seharusnya kecaman
berlebihan tidak sepatutnya keluar. Karena memang karakterstik postivistik
(berikut dengan efek sampingnya) inilah yang secara masif terus dilanjutkan dan
ditegakkan hingga sekarang.
Dengan
berbagai pengalaman kasus selama beberapa tahun terakhir yang terus menunjukkan
fakta bahwa hukum selalu tajam ke bawah namun tumpul ke atas, masihkah kita
terus melanjutkan paradigma hukum yang semacam ini?
Dulu
pada akhir dekade 1990-an hingga 2000-an almarhum Satjipto Rahardjo kencang
menyampaikan satu alternatif obat kebobrokan hukum nasional dengan gagasan
Hukum Progresif. Paradigma hukum yang lebih kontekstual, mempertimbangkan aspek
sosiologis, ekonomis, kultural masyarakat namun tetap tegas dan tidak pandang
bulu terhadap segala pelanggaran dan kejahatan hukum. Namun beliau telah
terlebih dahulu dipanggil yang maha kuasa sebelum gagasan hukum progresif belum
bernar-benar terimplementasikan.
Akhienya
dalam kerangka teoritis, sikap legilstik dan formalisme hukum merupakan tradisi
dalam filsafat positivisme atau yang lebih khusus dalam tradisi positivisme
hukum. Kepastian hukum merupakan keniscayaan bagi kaum legal-formalistik. Bahwa
yang namanya hukum harus tertulis dan (tanpa pandang bulu) ditegakkan sesuai
aturan yang berlaku. Namun, setelah aturan hukum tertulis tersebut diterapkan
kepada setiap tindakan manusia apakah keadilan yang akan tercipta?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar