Minggu, 23 November 2014

HUKUM POSITIV MENURUTDR.H.ZAINAL ASIKIN,SH,SU


A.   Positivisme
Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris.
Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan (seperti yang diusung oleh kaum idealisme khususnya idealisme Jerman Klasik).
Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan. Terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu:

1.      Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Auguste Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, Jhon Stuwar  Mill dan Spencer.
2.      Munculnya tahap kedua dalam positivisme – empirio-positivisme – berawal pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme.
3.       Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain. Serta kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis, positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain.




B. Positivisme Logis

Dalam perkembangannya, positivisme mengalami perombakan dibeberapa sisi, hingga munculah aliran pemikiran yang bernama Positivisme Logis yang tentunya di pelopori oleh tokoh-tokoh yang berasal dari Lingkaran Wina.
Positivisme logis adalah aliran pemikiran dalam filsafat yang membatasi pikirannya pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah. Fungsi analisis ini mengurangi metafisika dan meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah. Tujuan dari pembahasan ini adalah menentukan isi konsep-konsep dan pernyataan-pernyataan ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris.
Tujuan akhir dari penelitian yang dilakukan pada positivisme logis ini adalah untuk mengorganisasikan kembali pengetahuan ilmiah di dalam suatu sistem yang dikenal dengan ”kesatuan ilmu” yang juga akan menghilangkan perbedaan-perbedaan antara ilmu-ilmu yang terpisah. Logika dan matematika dianggap sebagai ilmu-ilmu formal.
Positivisme berusaha menjelaskan pengetahuan ilmiah berkenaan dengan tiga komponen yaitu bahasa teoritis, bahasa observasional dan kaidah-kaidah korespondensi yang mengakaitkan keduanya. Tekanan positivistik menggarisbawahi penegasannya bahwa hanya bahasa observasional yang menyatakan informasi faktual, sementara pernyataan-pernyataan dalam bahasa teoritis tidak mempunyai arti faktual sampai pernyataan-pernyataan itu diterjemahkan ke dalam bahasa observasional dengan kaidah-kaidah korespondensi.
Auguste Comte adalah tokoh aliran positivisme yang paling terkenal. Kaum positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dimana metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum sosial kemasyarakatan. Aliran ini tentunya mendapat pengaruh dari kaum empiris dan mereka sangat optimis dengan kemajuan dari revolusi Perancis.
Positivisme  menurut mendasari diri pada alur pemikiran manusia, maka menurut Auguste  Comte) ada 3 tahap pemikiran manusia  yaitu :
(i)           tahap teologi yang di dalam tahap ini semua fenomena diterangkan dengan mengacu kepada kausa yang bersifat supernatural dan intervensi dari yang ilahi;
(ii)          tahap metafisik yang di dalam tahap ini pemikiran diarahkan kepada prinsip-prinsip dan gagasan yang mendasar yang dipandang sebagai sesuatu yang ada di bawah permukaan apa yang ada tersebut dan yang membangun kekuatan yang riil dalam evolusi manusia;
(iii)         tahap positif yang di dalam tahap ini menolak segala konstruksi yang bersifat hipotesis dalam filsafat, sejarah, dan ilmu pengetahuan dan membatasi diri pada pengamatan empirik dan hubungan di antara fakta berdasarkan metode yang digunakan di dalam ilmu-ilmu alamiah
Pendiri filsafat positivis yang sesungguhnya adalah Henry de Saint Simon yang menjadi guru sekaligus teman diskusi Auguste  Comte. Menurut Simon untuk memahami sejarah,  orang harus mencari hubungan sebab akibat, hukum-hukum yang menguasai proses perubahan. 
Auguste Comte menuangkan gagasan positivisnya dalam bukunya the Course of Positivie Philosoph, yang merupakan sebuah ensiklopedi mengenai evolusi filosofis dari semua ilmu dan merupakan suatu pernyataan yang sistematis yang semuanya itu tewujud dalam tahap akhir perkembangan. Perkembangan ini diletakkan dalam hubungan statika dan dinamika, dimana statika yang dimaksud adalah kaitan organis antara gejala-gejala ( diinspirasi dari de Bonald), sedangkan dinamika adalah urutan gejala-gejala (diinspirasi dari filsafat sehjarah Condorcet).
Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu :
1.    Metode ini diarahkan pada fakta-fakta
2.    Metode ini diarahkan pada perbaikan terus meneurs dari syarat-syarat hidu
3.    Metode ini berusaha ke arah kepastian
4.    Metode ini berusaha ke arah kecermatan.
Metode positif juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu pengamatan, perbandingan, eksperimen dan metode historis. Tiga yang pertama itu biasa dilakukan dalam ilmu-ilmu alam, tetapi metode historis khusus berlaku bagi masyarakat yaitu untuk mengungkapkan hukum-hukum yang menguasai perkambangan gagasan-gagasan.
Kritik terhadap Auguste  Comte  adalah  Karl Popper  dengan asumsi pokok teorinya adalah satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya, dan Popper menyajikan teori ilmu pengetahuan baru ini sebagai penolakannya atas positivisme logis yang beranggapan bahwa pengetahuan ilmiah pada dasarnya tidak lain hanya berupa generalisasi pengalaman atau fakta nyata dengan menggunakan ilmu pasti dan logika. Dan menurut positivisme logis tugas filsafat ilmu pengetahuan adalah menanamkan dasar untuk ilmu pengetahuan.
Hal yang dikritik oleh Popper pada Positivisme Logis adalah tentang metode Induksi, ia berpendapat bahwa Induksi tidak lain hanya khayalan belaka, dan mustahil dapat menghasilkan pengetahuan ilmiah melalui induksi. Tujuan Ilmu Pengetahuan adalah mengembangkan pengetahuan ilmiah yang berlaku dan benar, untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan logika, namun jenis penalaran yang dipakai oleh positivisme logis adalah induksi dirasakan tidak tepat sebab jenis penalaran ini tidak mungkin menghasilkan pengetahuan ilmiah yang benar dan berlaku, karena elemahan yang bisa terjadi adalah kesalahan dalam penarikan kesimpulan, dimana dari premis-premis yang dikumpulkan kemungkinan tidak lengkap sehingga kesimpulan atau generalisasi yang dihasilkan tidak mewakili fakta yang ada. Dan menurutnya agar pengetahuan itu dapat berlaku dan bernilai benar maka penalaran yang harus dipakai adalah penalaran deduktif.
Penolakan lainnya adalah tentang fakta keras, Popper berpendapat bahwa fakta keras yang berdiri sendiri dan terpisah dari teori sebenarnya tidak ada, karena fakta keras selalu terkait dengan teori, yakni berkaitan pula dengan asumsi atau pendugaan tertentu. Dengan demikian pernyataan pengamatan, yang dipakai sebagai landasan untuk membangun teori dalam positivisme logis tidak pernah bisa dikatakab benar secara mutlak.


B.   Positivisme Hukum
Aliran hukum positif berangkat dari pandangan bahwa hukum tidak berasal dari Tuhan atau alam, melainkan dari manusia sendiri berdasarkan kemampuannya untuk merumuskan ketentuan hukum yang sumbernya dapat saja digali dari nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Hukum lahir untuk mengikat masyarakat karena adanya perjanjian sosial (social contract), manusia sendirilah yang memang menghendaki. Aliran hukum positif memandang perlu untuk memisahkan secara tegas antara hukum dan moral. Dalam kacamata positivis, tiada hukum kecuali perintah penguasa, bahkan aliran positivitas legalisme menganggap bahwa hukum identik dengan undang-undang.
Pengaruh positivis modern telah memasuki segala sektor keilmuan. Ditandai dengan kebangkitan semangat Eropa, melalui Renaisance, sebagai abad pencerahan yang diyakini akan mampu membawa harapan melalui ilmu pengetahuan pada orde peradaban yang dapat memecahkan segala persoalan hidup manusia. Besamaan dengan ini itu teknologi (spiritualisme) menjadi semakin memudar karena keberadaannya dianggap sudah tidak mampu mengatasi persoalan-persoalan hidup yang nyata. Implikasi semangat positivis telah membawa pembaharuan di berbagai bidang ilmu pengetahuan sosial, politik, ekonomi, hukum dan bidang-bidang lain.
Di bidang hukum sejak lebih kurang 200 tahun, negara-negara di dunia menggunakan konsep hukum modern. Praktis, hukum menghadapi pertanyaan yang spesialistik, teknologis, bukan pertanyaan moral. Keadaan yang demikian itu sangat kuat nampak pada hukum sebagai profesi. Kaum professional adalah orang-orang yang ahli dalam perkara perundang-undangan, tetapi jangan ditanyakan kepada mereka tentang urusan moral atau moralitas. Ekses hukum di Amerika yang sudah menjadi bisnis mengundang orang untuk berkomentar bahwa sifat kesatrian, professional oblesse, menolong orang yang susah sudah semakin luntur. Tipe bantuan hukum yang demikian itu disebut sebagai penembak bayaran.
Sebagai reaksi dari modernisme, muncul pemikiran yang dikenal post positivismodern yang kehadirannya merupakan gugatan terhadap kehidupan masyarakat barat yang bercorak modern yang melihat realitas sebagai keutuhan yang tertata dan bersifat rasional. Dengan ilmu pengetahuan yang objektif, kemajuan peradaban manusia akan dicapai sesuai dengan garis linier. Pemikiran post modernisme juga mengandung kecenderungan-kecenderungan yang ditemukan di bidang hukum, seperti upaya untuk mempertanyakan kembali tentang konsepsi kebenaran, keadilan, demokrasi, relativisme, dan pluralisme dalam Hak Asasi Manusia (HAM).
Hukum positif muncul bersamaan dengan berkembangnya tradisi keilmuan yang mampu membuka cakrawala baru dalam sejarah umat manusia yang semula terselubung cara-cara pemahaman tradisional. Hukum positif  mengajarkan bahwa hukum positiflah yang mengatur dan berlaku dibangun di atas norma yuridis yang telah ditetapkan oleh otoritas negara yang didalamnya terdapat kecenderungan untuk memisahkan  antara kebijaksanaan dengan etika dan mengindentikkan antara keadilan dengan legalitas yang didasarkan norma yuridis yang telah ditetapkan oleh otoritas negara yang didalam terdapat kecenderungan untuk memisahkan antara kebijaksanaan dengan etika dan mengindentikkan antara keadilan dengan legalitas  yang didasarkan atas aturan-aturan yang ditetapkan oleh penguasa negara. John Austin menggambarkan hukum sebagai suatu aturan yang ditentukan untuk membimbing makhluk berakal oleh makhluk berakal yang telah memiliki kekuatan untuk mengalahkannya. Oleh karena itu, hukum harus dipisahkan dari keadilan dan sebagai gantinya kebenaran hukum harus disandarkanpda ide-ide baik dan buruk yang didasarkanpada ketetapan pada kekuasan yang tertinggi.
Positivisme adalah aliran yang mulai menemui bentuknya dengan jelas melalui karya Auguste Comte (1798-1857) dengan judul Course de Philoshopie Positive. Positivisme hanya mengikui fakta-fakta positif dan fenomena-fenomena yang bisa diobservasi dengan hubungan obyektif fakta-fakta ini dan hukum-hukum yang menentukannya, meninggalkan semua penyelidika menjadi sebab-sebab atau asal-usul tertinggi.
Seperti diuraikan di atas bahwa Auguste Comte membagi evolusi menjadi tiga tahap, pertama, tahap teologis dimana semua fenomena dijelaskan dengan menunjukkan kepada sebab-sebab supernatural dan intervensi yang bersifat ilahi; kedua tahap metafisika. Pada tahap ini, pemikiran diarahkan menuju prinsi-prinsip dan ide-ide tertinggi yang dipahami sebagai ada di bawah permukaan  sesuati, dan ketiga, tahap positif yang menolak semua konstruksi hipotesis dalam filsafat dan membatasi diri pada observasi empirik dan hubungan fakta-fakta di bawah bimbingan metode-metode yang dipergunakan dalam ilmu-ilmu alam.
Positivisme oleh Hart diartikan sebagai berikut: pertama, hukum adalah perintah, kedua, analisis terhadap konsep-konsep hukum adalah suatu yang berharga untuk dilakukan; ketiga, keputusan-keputusan dapat didedukasikan secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada terlebih dahulu  tanpa menunjukkan kepada tujuan-tujuan sosial, kebijakan serta moralitas; keempat, penghukuman secar moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian, dan kelima, hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakanyang diinginkan. Inilah yang sekarang sering diterima sebagai pemberian arti terhadap positivisme.
Positivisme merupakan suatu paham yang menuntut agar setiap metodologi yang dipikirkan untuk menemukan kebenaran hendaklah memperlakukan realitas sebagai sesuatu yang eksis dan objektif yang harus dilepaskan dari sembarang macam prokonsepsi metafisis yang subjektif sifatnya. Pada saat diaplikasikan ke dalam pemikiran hukum, positivisme menghendaki dilepaskannya pemikiran yuridis mengenai hukum sebagaimana dianut olehpara eksponen aliran hukum kodrat. Oleh sebab itu, setiap norma hukum haruslah eksis  dalam alamnya yang objektif sebagai norma-norma yang positif ditegaskan sebagi wujud kesepakatan kontraktual yang kongkrit antara warga masyarakat. Hukum bukan lagi mesti dikonsepkan sebagai asas-asas moral metayuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan, melainkan sesuatu yang telah menjalani positivisasi sebagai legee atau lex guna menjamin kepastian mengenai apa pula yang sekalipun normatif harus dinyatakan sebagai hal-hal yang bukan terbilang hukum.
Dalam negara modern, hukum positif dibuat oleh penguasa yang berdaulat. Penguasa digambarkan sebagai manusia superior yang bersifat menentukan. Penguasa ini mungkin seorang individu, sebuah lembaga, atau sekelompok individu. Menurut  John Austin, karakteristik hukum positif terletak pada karakteristik imperatifnya. Artinya, hukum dipahami sebagai suatu perintah dari penguasa. Pemikiran semacam itu kemudian dikembangkan Rudolf van Hearinga dan George Jellinek yang menekankan pandangan pada orientasi untuk mengubah teori-teori negara berdaulat sebagai gudang dan sumber kekuasaan hukum.
Paham positivisme mempengaruhi kehidupan bernegara untuk mengupapayakan positivisasi norma-norma keadilan agar segera menjadi norma perundang-undangan untuk mempercepat terwujudnya negara bangsa yang diidealkan. Paham ini mempunyai struktur yang terintegrasi kukuh secara sentral dan berotoritas sentral yang tidak bisa dijabarkan, positivisasi hukum selalu memperoleh prioritas utama dalam setiap upaya pembangunan hukum di negara-negara yang tumbuh modern dan menghendaki kesatuan dan atau menyatukan. Tidak Cuma yang menuju ke nation state, melainkan juga yang dulu menuju ke colonial state. Tak ayal pula, positivisasi hukum selalu berhakikat sebagai proses nasionalisasi dan etaisasi hukum menuju kemampuan negara dan pemerintah untuk monopoli kontrol sosial yang formal lewat pendayagunaan hukum positif.
Hukum adalah perintah penguasaan negara. Hakikat hukum menurut John Austin terletak pada unsur perintah. Hukum dipandang sebagai suatu sistem yang tetap, logis, dan tertutup. Karena itu, pihak penguasalah yang menentukan apa yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Kekuasaan dari penguasa dapat memberlakukan hukum dengan cara menakuti dn mengarahkan tingkah laku orang lain ke arah yang diinginkan.
John Austin, pada mulanya, membedakan hukum dalam dua jenis, yaitu hukum dari Tuhan untuk manusia dan hukum yang dibuat oleh manusia dapat dibedakan dengan hukum yang sebenarnya dan hukum yang tidak sebenarnya. Hukum yang sebenarnya inilah yang disebut sebagai hukum positif yang meliputi hukum yang dibuat oleh penguasa dan hukum yang disusun oleh manusia secara individual untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya. Hukum yang tidak sebenarnya adalah hukum yang tidak dibuat oleh penguasa sehingga tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum. Hukum yang sebenarnya memiliki empat unsur yaitu perintah (Command), sangsi (sanction), kewajiban (duty), dan kedaulatan (soveignty).
Sementara menurut Hans Kelsen, hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir non yuridis seperti unsur sosiologis, politis, historis, bahkan nilai-nilai etis. Pemikiran inilah yang dikenal dengan teori hukum murni (reine rechlehre). Jadi hukum adalah suatu kategori keharusan (sollens kategorie) bukan kategori factual (sains kategorie). Hukum baginya merupakan suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai makhluk rasional.
Teori hukum murni boleh dilihat bagai suatu pembangunan yang amat seksama dari aliran positivisme. Ia menolak ajaran yang bersifat ideologis dan hanya menerima hukum sebagaimana adanya, yaitu dalam bentuk peraturan-peraturan yang ada. Teori hukum ini adalah teori tentang hukum positif. Ia berusaha untuk mempersoalkan dan menjawab pertanyaan apakah hukumnya dan bukan bagaimana hukum yang seharusnya. Karena itu, menurut Kelson keadilan sebagaimana lazimnya dipertanyakan hendaknya dikeluarkan dari ilmu hukum. Ia adalah suatu konsep. Ideologis, suatu ideal yang irasional. Pendapat yang mengemukakan bahwa keadilan itu ada, ternyata tidak dapat memberikan batasan yang jelas sehingga menimbulkan keadaan yang kontradiktif. Bagaimanapun keadilan itu tidak dapat dilepaskan dari kehendak dan tindakan manusia. Ia tidak bisa menjadi subjek ilmu pengetahuan. Apabila dipandang dari sudut pengetahuan rasional, yang ada hanya kepentingan-kepentingan. Oleh karena itu, hanya ada konflik kepentingan-kepentingan. (Uraian tentang Teori Hukum Murni akan dibahas tersendiri di sub bab tersendiri).
Hans Kelsen juga dikenal sebagai pencetus teori berjenjang, (stuffen theory) teori ini melihat hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari susunan norma berbentuk piramida. Norma yang lebih rendah memperoleh kekuatan dari suatu norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma akan semakin abstrak sifatnya dan sebaliknya semakin rendah kedudukannya akan semakin kongkrit. Norma yang paling tinggi menduduki puncak piramida yang disebut norma dasar (grund norm). teori berjenjang pembahasan norma hukum saja. Sebagai penganut dari aliran positif, hukum dipahami identik dengan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh penguasa.
Lahirnya positivisme hukum merupakan pengaruh dari filsafat positivisme pada abad XIX. Filsafat ini berpangkal dari apa yang diketahui, yang faktual, yang positif. Segala uraian dan persoalan diluar apa yang ada sebagai fakta dan kenyataan dikesampingkan. Oleh karena itu metafisika ditolak. Apa yang kita ketahui secara positif adalah segala yang nampak, segala gejala. Berangkat dari akar inilah positivisme hukum ada. Dengan dalih menggunakan logika dan metode ilmu pasti ke dalam ilmu-ilmu sosial. Ilmu sosial (termasuk hukum di dalamnya) dalam perkembanganya kemudian melahirkan karakteristik yang empiris, kaku, tertulis, dan metodologis.
Hukum selalu merupakan hukum positif dan positivisme hukum terletak pada fakta bahwa hukum itu dibuat dan dihapuskan oleh tindakan manusia terlepas dari moralitas dan sistem norma itu sendiri. Karena seperti diungkapkan Hans Kelsen bahwa “Hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir yang non yuridis, seperti unsur sosiologi, historis dan etis“. Pemikiran inilah yang dikenal dengan teori hukum murni (Reine Rechtlehre) dari Kelsen. Jadi, hukum adalah suatu Sollenkategore (kategori keharusan/ideal), bukan Seinkategorie (kategori faktual) .
Baginya hukum adalah suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai makhluk rasional. Dalam hal ini yang dipersoalkan oleh hukum bukanlah “bagaimana hukum itu seharusnya”, tetapi “apa hukumnya”. Dengan demikian walaupun hukum itu Sollenkategorie, yang dipakai adalah hukum positif (ius constitutum) bukan yang dicita-citakan (ius constituendum).
Pemikiran Hans Kelsen tentang hukum sangat dipengaruhi oleh pemikiran Immanuel Kant. Dia bahkan kemudian dimasukkan sebagai kaum Neokantian karena ia menggunakan pemikiran Kant tentang pemisahan antara bentuk dan isi. Bagi Kelsen hukum berurusan dengan bentuk (forma) bukan isi (material). Jadi, keadilan sebagai isi hukum berada di luar hukum. Suatu hukum dengan demikian dapat saja tidak adil, tapi ia tetaplah hukum karena dikeluarkan oleh penguasa  Jadi, hukum dalam kacamata positivisme memang tidak harus adil.( Uraian Teori Positivisme Hans Kelsen akan diuraikan dalamsub bab tersendiri).
Gagasan positivisme yang hendak mensaintifikasikan ilmu sosial sebagaimana ilmu alam yang kaku, empiris namun nirkontekstual inilah yang diterapkan di Indonesia. Tumbuh dalam ‘gerbong besar’ bernama sistem hukum kontinental warisan pemerintah kolonial Belanda, sebagai masyarakat yang sadar seharusnya kecaman berlebihan tidak sepatutnya keluar. Karena memang karakterstik postivistik (berikut dengan efek sampingnya) inilah yang secara masif terus dilanjutkan dan ditegakkan hingga sekarang.
Dengan berbagai pengalaman kasus selama beberapa tahun terakhir yang terus menunjukkan fakta bahwa hukum selalu tajam ke bawah namun tumpul ke atas, masihkah kita terus melanjutkan paradigma hukum yang semacam ini?
Dulu pada akhir dekade 1990-an hingga 2000-an almarhum Satjipto Rahardjo kencang menyampaikan satu alternatif obat kebobrokan hukum nasional dengan gagasan Hukum Progresif. Paradigma hukum yang lebih kontekstual, mempertimbangkan aspek sosiologis, ekonomis, kultural masyarakat namun tetap tegas dan tidak pandang bulu terhadap segala pelanggaran dan kejahatan hukum. Namun beliau telah terlebih dahulu dipanggil yang maha kuasa sebelum gagasan hukum progresif belum bernar-benar terimplementasikan.
Akhienya dalam kerangka teoritis, sikap legilstik dan formalisme hukum merupakan tradisi dalam filsafat positivisme atau yang lebih khusus dalam tradisi positivisme hukum. Kepastian hukum merupakan keniscayaan bagi kaum legal-formalistik. Bahwa yang namanya hukum harus tertulis dan (tanpa pandang bulu) ditegakkan sesuai aturan yang berlaku. Namun, setelah aturan hukum tertulis tersebut diterapkan kepada setiap tindakan manusia apakah keadilan yang akan tercipta?








Tidak ada komentar:

Posting Komentar