Minggu, 23 November 2014

ALIRAN FILSAFAT HUKUM


Aliran hukum alam telah berkembang sejak kurun waktu 2500 tahun yang lalu, dan muncul dalam berbagai bentuk pemikiran. Dilihat dari sejarahnya, menurut Friedmann aliran ini timbul karena kegagalan umat manusia dalam mencari keadilan yang absolut. Hukum alam di sini dipandang sebagai hukum yang berlaku universal dan abadi.
Gagasan mengenai hukum alam didasarkan pada asumsi bahwa melalui penalaran hakikat makhluk hidup akan dapat diketahui dan pengetahuan tersebut mungkin menjadi dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum eksistensi manusia. Hukum alam dianggap lebih tinggi dari hukum yang sengaja dibentuk oleh manusia.
Secara sederhana, menurut sumbernya Aliran Hukum Alam dapat dibedakan dalam dua macam yakni irasional dan rasional. Aliran Hukum Alam yang irasional berpendapat bahwa hukum yang berlaku universal dan abadi itu bersumber dari Tuhan secara langsung. Sebaliknya, Aliran Hukum Alam yang rasional berpendapat bahwa sumber dari hukum yang universal dan abadi itu adalah rasio manusia.

A.    Hukum Alam Irasional

Beberapa pendukung Aliran Hukum Alam irasional yang akan diuraikan pandangan-pandangannya adalah Thomas Aquinas, John Salisbury, Dante Alighieri, Piere Dubois, Marsilius Padua, William Occam, John Wycliffe, dan Johannes Huss
.
A.        Thomas Aquinas (1225-1274)
Filsafat Thomas Aquinas berkaitan erat dengan teologia. Ia mengakui bahwa di samping kebenaran wahyu juga terdapat kebenaran akal. Menurutnya ada pengetahuan yang tidak dapat ditembus oleh akal, dan untuk itulah diperlukan iman.

Berbicara tentang hukum, Aquinas mendefinisikan sebagai ketentuan akal untuk kebaikan umum yang dibuat oleh orang yang mengurus masyarakat. Ada empat macam hukum yang diberikan Aquinas, yaitu (1) lex aeterna (hukum rasio Tuhan yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindera manusia), (2) lex divina (hukum rasio yang dapat ditangkap oleh pancaindera manusia), (3) lex naturalis (hukum alam, yaitu penjelmaan lex aeterna ke dalam rasio manusia), dan (4) lex positivis (penerapan lex naturalis dalam kehidupan manusia di dunia).
                           
B.     John Salisbury (1115-1180)

Dalam menjalankan pemerintahannya, penguasa wajib memperhatikan hukum tertulis dan tidak tertulis (hukum alam), yang mencerminkan hukum-hukum Allah. Tugas rohaniwan adalah membimbing penguasa agar tidak merugikan kepentingan rakyat, dan menurutnya bahkan penguasa itu seharusnya menjadi abdi gereja. Menurut Salisbury, jikalau masing-masing penduduk bekerja untuk kepentingannya sendiri, kepentingan masyarakat akan terpelihara dengan sebaik-baiknya.

C.     Dante Alighieri (1265-1321)

Dante amat menentang penyerahan kekuasaan duniawi kepada gereja. Baginya keadilan baru dapat ditegakkan apabila pelaksanaan hukum diserahkan kepada satu tangan saja berupa pemerintahan yang absolut. Menurutnya, badan tertinggi yang memperoleh legitimasi dari Tuhan sebagai monarkhi dunia ini adalah Kekaisaran Romawi.

D.     Piere Dubois (lahir 1255)

Dubois mencita-citakan suatu Kerajaan Perancis yang luas, yang menjadi pemerintah tunggal dunia. Di sini tampak Dubois sangat meyakini adanya hukum yang dapat berlaku universal. Sama seperti Dante, Dubois menyatakan bahwa penguasa (raja) dapat langsung menerima kekuasaan dari Tuhan, tanpa melewati pemimpin gereja. Bahkan Dubois ingin agar kekuasaan duniawi gereja (paus) dicabut dan diserahkan sepenuhnya kepada raja.

E.     Marsilius Padua (1270-1340) dan William Occam (1280-1317)

Padua berpendapat bahwa negara berada di atas kekuasaan Paus. Kedaulatan tertinggi ada di tanga rakyat. Padua juga berpendapat bahwa tujuan negara adalah untuk memajukan kemakmuran dan member kesempatan seluas-luasnya kepada warga negara agar dapat mengembangkan dirinya secara bebas. Bahkan, rakyat pula yang berwenang memilih pemerintahannya. Rakyat boleh menghukum penguasa (raja) yang melanggar undang-undang, termasuk memberhentikannya. Kekuasaan raja bukanlah kekuasaan absolute melainkan dibatasi oleh undang-undang.

Di sisi lain, filsafat Occam sering disebut Nominalisme. Jika Thomas Aquinas meyakini kemampuan rasio manusia untuk mengungkapkan kebenaran, maka Occam berpendapat bahwa rasio manusia tidak dapat memastikan suatu kebenaran. Pengetahuan (ide) yang ditangkap oleh rasio hanyalah nama-nama (nomen, nominal) yang digunakan manusia dalam hidupnya.

F.      John Wycliffe (1320-1384) dan Johannes Huss (1369-1415)

Wycliffe mengatakan urusan negara seharusnya tidak boleh dicampuri oleh rohaniawan karena corak pemerintahan para rohaniawan itu adalah corak kepemimpinan yang paling buruk. Pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang dipimpin para bangsawan. Menurutnya kekuasaan ketuhanan tidak perlu perantara (rohaniawan gereja) sehingga baik para rohaniawan maupun orang awam sama derajatnya di mata Tuhan.

Huss melengkapi pemikiran Wycliffe. Huss mengatakan bahwa gereja tidak perlu mempunyai hak milik. Karena itu, penguasa boleh merampas milik itu apabila gereja salah menggunakan haknya. Menurutnya, Paus dan hierarki gereja tidak diadakan menurut perintah Tuhan. Gereja yang sebenarnya dibentuk oleh semua orang yang beriman.

B.     Hukum Alam Rasional

A.    Hugo de Groot alias Grotius (1583-1645)

Hugo dikenal sebagai Bapak Hukum Internasional karena dialah yang memperoleh konsep-konsep hukum dalam hubungan antar negara, seperti hukum perang dan damai, serta hukum laut. Menurut Grotius, sumber hukum adalah rasio manusia. Karena karakteristik yang membedakan manusia dengan makhluk lain adalah kemampuan akalnya, seluruh kehidupan manusia harus berdasarkan kemampuan akal/rasio itu.

B.     Samuel von Pufendorf (1632-1694) dan Christian Thomasius (1655-1728)

Pufendorf adalah penganjur pertama hukum alam di Jerman. Pekerjaannya dilanjutkan Thomasius. Pudfendorf berpendapat bahwa hukum alam adalah aturan yang berasal dari akal pikiran yang murni. Dalam hal ini unsur naluriah manusia yang lebih berperan. Akibatnya ketika manusia hidup bermasyarakat, timbul pertentangan kepentingan satu dengan yang lainnya. Agar tidak terjadi pertentangan terus-menerus dibuatlah perjanjian secara sukarela di antara rakyat. Dengan adanya perjanjian itu berarti tidak ada kekuasaan yang absolut. Semua kekuasaan itu dibatasi oleh Tuhan, hukum alam, kebiasaan, dan tujuan dari negara.

Sementara itu menurut Thomasius, manusia hidup dengan bermacam-macam naluri yang bertentangan satu dengan yang lain. Karena itu diperlukan baginya aturan-aturan yang mengikat agar ia mendapat kepastian dalam tindakan-tindakannya, baik ke dalam maupun ke luar.

C.      Immanuel Kant (1724-1804)

Filsafat Kant dikenal sebagai filsafat kritis, merupakan sintesis dari rasionalisme dan empirisme. Kritisme adalah filsafat yang memulai perjalannya dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio. Kant menyelidiki unsur-unsur mana dalam pemikiran manusia yang berasal dari rasio (sudah ada terlebih dulu tanpa dibantu oleh pengalaman) dan mana yang murni berasal dari empiris.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar