Keberadaan positivisme hukum tidak dapat
dilepaskan dari kehadiran negara modern.Sebelum abad ke 18
pikiran itu talah hadir, dan menjadi semakin kuat sejak kehadiran negara
modern. Selain itu, pemikiran positivisme hukum adalah bagian yang tidak dapat
dilepas dari pengaruh perkembangan positivisme (ilmu). Berbeda dengan
pemikiran hukum kodrat yang sibuk dengan permasalahan validasi hukum buatan
manusia, maka pada positivisme hukum, aktivitasnya justru diturunkan kepada
permasalahan konkrit. Jawaban terhadap permasalahan konkrit tersebut,
berdasarkan prinsip-prinsip dasar yang ada dalam positivisme, yakni:
- Suatu tata hukum
negara berlaku bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan sosial (Comte
dan Spenser), bukan pula bersumber pada jiwa bangsa (Savigny) dan bukan
juga karena dasar-dasar hukum alam, melainkan mendapatkan bentuk
postifnya dari instansi yang berwenang.
- Hukum harus
dipandang semata-mata dalam bentuk formalnya; bentuk hukum formal
dipisahkan dari bentuk hukum material.
- Isi hukum
(material) diakui ada, tetapi bukan bahan ilmu hukum karena dapat merusak
keberadaan ilmiah ilmu hukum.
Secara epistimologi kata “positif” diturunkan
dari bahasa Latin ponere-posui-positus yang berati meletakan. Kata
“meletakan” menunjukkan bahwa dalam positivisme adalah sesuatu yang sudah
tersaji (given). Dalam bidang hukum, sesuatu yang tersaji itu adalah sumber
hukum positif, yang sudah diletakkan oleh penguasa politik.
Berdasarkan uraian singkat diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa positivisme hukum mencoba menyingkirkan spekulasi tentang
aspek metafisik dan hakikat hukum. Latar belakangnya tidak lain adalah usaha
pembatasan “dunia” hukum dari segala sesuatu yang ada di balik hukum dan
mempengaruhi hukum tersebut. Aliran pemikiran ini hendak menjadikan hukum
sepenuhnya otonom dan menyusun sebuah ilmu pengetahuan hukum yang lengkap yang
didasarkan atas semua sistem normatif yang berlaku di dalam masyarakat. Sistem
normatif yang berlaku itu dimanifestasikan di dalam kekuasaan negara untuk
memberlakukan hukum dengan kelengkapannya, yaitu sanksi. Pemikiran postivisme
dapat dibagi menjadi dua Postivisme Klasik tokohnya antara lain John Austin dan
Hans Kelsen dan Neopostivisme tokohnya antara lain HLA Hart, Lon Fuller dan
Dworkin. Dalam tulisan ini tidak dibahas seluruh tokoh Postivisme, akan tetapi
hanya mencoba John Austin. Tulisan ini mencoba memahami secara sederhana
pemikiran John Austin yakni “ Analitical Jurisprudence”.
A. John Austin: Biografi Singkat
Kehidupan John Austin dipenuhi dengan kekecewaan
dan harapan yang tidak terpenuhi. Austin dilahirkan pada tahun 1790 di Sufflok,
dari keluarga kaum pedagang. Austin pernah berdinas di tentara, dan ditugaskan
di Sisilia dan Malta. Namun ia juga mempelajari hukum. Pada tahun 1818, ia
bekerja sebagai advokat Tapi ia tidak menjalaninya secara serius. Ia
belakangan meninggalkan pekerjaan itu, pindah menjadi seorang ilmuwan hukum.
Pada tahun 1826 hingga 1832, ia bekerja sebagai guru besar bidang jurisprudence
di London University. Sesaat setelah mengundurkan diri sebagai profesor, ia
banyak menjabat jabatan-jabatan penting di lembaga-lembaga kerajaan. Misalnya
ia pernah bekerja di Criminal Law Commission dan Royal Commisioner
untuk Malta.
Berapa teman yang banyak mempengaruhi
pemikiranya (Jeremy Bentham, James Mill, John Stuart Mill dan Thomas Carlyle)
sangat terkesan dengan kecerdasan Austin, mereka meperkirakan Austin akan
memiliki karir yang sangat panjang. Namun, dalam kenyataannya Austin lebih
memilih untuk mengakhiri karir secara cepat baik dalam dunia akademis, maupun
dalam pemerintahan. Walaupun ia seorang jurist Inggris, kuliah-kuliahnya di
Bonn Jerman, telah memberikan bukti yang penting tentang pengaruh pemikiran
politik dan hukum Eropa Kontinental dalam diri Austin. Kumpulan kuliah ini yang
kemudian diterbitkan sebagai buku, berjudul The Province of Jurisprudence
Determined (1832). Karyanya yang lain adalah Lectures on Jurisprudence,
diterbitkan atas upaya keras dari istrinya, Sarah, pasca Austin tutup usia pada
1859.
B. Analytical Jurisprudence
Pemikiran pokok tentang hukum John Austin
dituangkan terutama dalam karyanya berjudul The Province of
Jurisprudence Determined. Karya tersebut paling lengkap dan penting
mengenai usaha untuk menerapkan sistem positivisme analitis dalam negara-negara
modern, bahkan Austin sering disebut sebagai pembentuk legal positivism.
Dalam memberikan rumusan tentang hukum, Austin menggantikan “cita-cita tentang
keadilan (ideaof justice) dengan “perintah yang berdaulat” (comend of
sovereign) sebagaimana dijelaskan oleh Austin “Positif law… is the set
by sovereign person, or a sovereign body of person, to members of independent
political society wherein that person or bady is sovereign pr supreme”.
Menurut Austin, hukum adalah suatu peraturan yang dibuat untuk dipergunakan
sebagai pedoman makhluk berakal, oleh makhluk berakal yang mempunyai kekuasaan
terhadapnya. Menurut interpretasi Austin, hukum positif berakar sepenuhnya dari
fakta-fakta empiris yang bersumber dari ketentuan berdaulat. Hukum dipisahkan
dari keadilan dan tidak didasarkan pada pengertian “baik” dan buruk akan tetapi
didasarkan pada kekuasaan dari sesuatu yang lebih kuat (the powers of
superior). Berarti, hakikat hukum terletak pada usur “perintah” dari yang
berdaulat.
Menurut Austin, filsafat hukum memiliki dua
tugas penting. Kegagalan membedakan keduanya, akan menimbulkan kekaburan baik
intelektual maupun moral. Kedua tugas ini berkaitan dengan dua dimensi dari
hukum yakni yurisprudensi analitis dan yurisprudensi normatif.
- Yurisprudensi
analitis (analytical jurisprudence), berkaitan dengan tugas
filsafat hukum adalah melakukan analisis tentang konsep dasar dalam hukum
dan struktur hukum bagaimana adanya. Pertanyaan tentang apa itu hukum,
tanggungjawab hukum, hak dan kewajiban hukum, misalnya adalah contoh
pertanyaan-pertanyaan khas yang diajukan filsuf atau pemikir hukum sebagai
titik tolak dalam menganalis dan mencoba memahami konsep dasar tersebut.
- Yurisprudensi
normatif (normative jurisprudence) berusaha mengevaluasi atau
mengkritik hukum dengan berangkat dari konsep hukum sebagaimana
seharusnya. Pertanyaan-pertanyaan pokok yang diajukan antara lain mengapa
hukum disebut hukum, mengapa kita wajib mentaati hukum, manakah basis
validitas hukum, dan sebagainya. Dengan demikian, dimensi yang kedua ini
berurusan dengan dimensi ideal dari hukum.
Berdasarkan perbedaan tersebut Austin mencoba
memisahkan antara hukum dan moral. Karena menurut Austin, ilmu hukum analitis
memperhatikan fakta-fakta mendasar dari hukum, asal-usunya, keberadaannya dan
konsep yang melatar belakanginya yang harus dibedakan dengan ilmu hukum
normatif yang memfokuskan diri pada pertanyaan tentang kebaikan dan keburukan
dari hukum yang ada. Dengan kata lain dapat ditegaskan kembali Austin
memisahkan antara hukum dengan moral. Ilmu hukum hanya membahas hukum positif
saja, tidak membahas hubungan antara hukum positif dengan moral. Hukum tidak
memperdulikan baik atau buruknya, diterima atau tidak oleh masyarakat. Untuk
memperjelas perbedaan tersebut lihat bagan 1.1.
Bagan
1.1
Selain itu, pemikiran Austin bertolak dari
kenyataan bahwa terdapat suatu kekuasaan yang memberikan perintah-perintah, dan
dan ada orang yang pada umunya mentaati perintah-perintah tersebut. Apabila
meraka tidak mematuhi perintah maka dijatuhi sanksi. Keberadaan sanksi disini
sangatlah menjadi penting karena Austin tidak mempermasalahkan dalam
kenyataannya mereka patuh karena takut, karena rasa hormat atau karena dipaksa.
Menurut Austin, keberadaan sanksi adalah:
Sanksi atau kepatuhan
yang dipaksakan “the evil” yang muncul apabila sebuah perintah tidak
dipatuhi.
- Sesuatu yang tidak
enak yang tak dapat dipisahkan dari satu perintah.
- Suatu intimidasi
dari yang berkehendak yang berupa kata-kata atau tanda-tanda.
Maka untuk dalapat disebut hukum menurut Austin
diperlukan adanya unsur-unsur yakni:
(1) Adanya seorang penguasa (souvereighnity),
(2) Perintah (command),
(3) Kewajiban Mentaatinya (duty),
(4)
sanksi bagi mereka yang tidak taat (sanction).
Kedaulatan, yakni otoritas politik yang paling
tinggi (the supreme political authority), yang berfungsi mengatur
perilaku anggota masyarakat. Adapaun yang memiliki kedaulatan ini mungkin
individu atau juga sekelompok individu. Syaratnya:
(1)
individu atau kelompok individu merupakan orang atau sekelompok orang yang
dipatuhi oleh segenap anggota masyarakat; dan
(2)
individu atau kelompok individu yang berdaulat ini tidak patuh pada siapa pun
juga di atasnya. Jadi sumber hukum menurut Austin, adalah penguasa teringgi
yang de facto dipatuhi oleh segenap anggota masyarakat sementara
ia sendiri tidak tunduk pada siapa pun.
Berkaitan dengan kedaulatan, secara umum dapat
dilihat dari dua hal yakni karateristik dan legitimasi. Karateristik kedaulatan
yakni Pertama, masyarakat tertentu mematuhi sebagai yang tertinggi dari pembuat
hukum. Kedua, yang bersangkutan tidak tergantung pada superioritas tertentu.
Legitimasi kedaulatan yakni karena kekuasannya sendiri dan karena sesuatu hal
sebagai hukum.
Berdasarkan panjelasan di atas dapat disimpulkan
bahwa inti ajaran Austin dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Hukum adalah perintah
dari yang berdaulat (command of the sovereign)
- Ilmu Hukum selalu
berkaitan dengan hukum postif
- Konsep tentang
kedaulatan negara (doctrine of sovereinty) mewarnai hampir seluruh
ajaran Austin.
- Hukum dilihatnya
sebagai sekumpulan peraturan yang eksistensi dan kedudukannya tergantung
pada otoritas manusia.
- Merupakan
kewajiban, tidak memberi ruang untuk memilih (apakah mematuhi atau tidak
mematuhi).
C. Taxonomy Austin dan Legal Positivism
Austin mengungkapkan dua perbedaan besar
berkaitan dengan hukum yang sebenarnya (Laws properly so colled) dan
hukum yang tidak sebenarnya (Laws improperly so called). Dari perbedaan
tersebut akan melahirkan Hukum Positif dan Moralitas Positif. Untuk memperjelas
perbedaan tersebut lihat bagan 1.2.
bagan
1.2.
Hukum yang sebenarnya berdasarkan bagan tersebut
dapat berupa hukum buatan Tuhan (laws of God), yang ditujukan kepada
makluk ciptaanya. Menurut Austin hukum buatan Tuhan (laws of God)
bukanlah Hukum Postif, karena menurut Austin Hukum Positif hanya dapat dibentuk
oleh manusia. Berarti disini jelas Austin Memisahkan Hukum buatan Tuhan dan
Hukum buatan Manusia. Hukum Tuham merupakan moralitas, tetapi bukan moralitas
postif (positive morality). Hukum yang dibuat manusia ada dua kategori
yaitu:
- Hukum Positif:
hukum yang dibuat oleh manusia sebagai superior politik atau dalam
melaksanakan hak-hak yang diberikan oleh pentinggi-pentinggi politik
tersebut.
2.
Moralitas Positif adalah hukum yang dibuat oleh manusia tetapi
tidak sebagai petinggi politik atau dalam melaksanakan hak yang dimiliki.
Perbedaan antara hukum positif dengan moralitas
positif muncul dari perbedaan atara hukum yang sebenarnya dari kebiasaan
belaka. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, hukum positif, dalam arti hukum
yang dipaksakan oleh yang memiliki kedaulatan, selalu implisit atau eksplisit
berbeda kontras dengan hukum yang tumbuh dari kebiasaan (custom).
Selain itu, hukum yang tidak sebenarnya mencakup
hukum hasil Analogi dan Hukum hasil Metafora. Hukum hasil analogi ini
diciptakan dari kehendak atau pendapat umum (laws set or imposed by general
opinion). Contohnya adalah pendapat umum tentang cara berpakaian. Apa yang
buruk dari cara berpakaian akan menciptakan moralitas positif (positive
morality). Berarti moralitas positif (positive morality) selain
dibentuk dari perbuatan manusia juga dapat dibentuk dari Hukum hasil analogi.
Hukum yang tidak sebenarnya yang berupa metafora (laws by metaphor) atau
kiasan yang disebut dengan hukum alamiah (laws of nature). Hukum ini
merupakan hukum-hukum alam. Hukum alam merupakan dalil-dalil alam yang
diciptakan tanpa campurtangan manusia, misanya setiap orang pasti mati, air
dipanaskan mendidih, sayur membusuk. Hukum seperti ini menurut Austin tidak terkai
dengan moralitas positif.
sumber : http://ilhamendra.wordpress.com/2010/11/12/analitical-jurisprudence-%E2%80%9Cjohn-austin%E2%80%9D/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar