Apakah
Pencerahan itu?. Pertanyaan itu dijadikan judul esai Immanuel Kant “Was
ist Aufklärung?” yang dimuat pada Jurnal Berlinische
Monastschrift
pada bulan September 1784. Menurut Kant:
“Pencerahan adalah pembebasan
manusia dari ketidakdewasaan yangdibuatnya sendiri. Ketidakdewasaan
adalah ketidakmampuan untuk mempergunakan pengertiannya sendiri tanpa
bimbingan orang lain. Ketidakdewasaan ini dibuatnya sendiri bila
penyebabnya bukannya pada kurangnya pikiran melainkan kurangnya ketegasan dan
keberanian untuk mempergunakan pikiran itu tanpa bimbingan orang lain. Sapere
Aude! Beranilah mempergunakan pikiranmu
sendiri! Itulah semboyan pencerahan”.
Kant
menegaskan, Pencerahan adalah “jalan keluar” yang membebaskan manusia dari
situasi ketidakdewasaan, yakni, situasi manusia yang masih menggantungkan
dirinya pada otoritas di luar dirinya, yang dengannya ia sendiri merasa
bersalah, entah otoritas itu atas nama tradisi, dogma agama, atau pun negara.
Pencerahan dapat dikatakan pula sebagai proses penyempurnaan secara kumulatif
kualitas subjektivitas dengan segala kemampuan objektif akal budinya dalam
mencapai satu tingkatan sosial yang disebut dengan “kemajuan”.
Pencerahan,
dengan demikian, harus dipahami sebagai sebuah proses, sekaligus tugas untuk
mencapai Mundigkeit,
kedewasaan, dengan berani menggunakan rasio sendiri. Sapere
Aude (Beranilah
berpikir sendiri!) menjadi semboyan kuatnya.
Keterputusan
dari nilai-nilai mitos, spirit ketuhanan, telah memungkinkan manusia
modern untuk “mengukir sejarahnya sendiri” di dunia – suatu proses self
determination,
di mana manusia menciptakan kriteria-kriteria dan nilai-nilai perkembangan diri
mereka sendiri sebagai subjek yang merdeka. Keterputusan dari nilai-nilai dan
spirit yang lama, telah memungkinkan manusia modern untuk hidup di dunia
baru, dunia modern, dunia yang diandaikan tercipta seperti pada “Hari
Kejadian”. Hegel menyebut dunia baru ini sebagai “zaman baru” (new
age), dengan roh baru. Seperti yang
dikemukakannya dalam Phenomenology of Spirit:
“Zaman kita adalah sebuah zaman
kelahiran dan periode peralihan menuju satu era baru. Roh telah terputus
dari dunia yang sebelumnya dihuni dan diimajinasikannya, dari pikiran yang
telah menenggelamkannya di masa lalu, dan ia dalam proses transformasi. Roh
tidak pernah diam di tempat, akan tetapi selalu dalam proses bergerak ke
depan … ketidakstabilan dan kebosanan yang mengguncang orde yang mapan, ramalan
samar-samar tentang sesuatu yang belum diketahui di depan , semuanya ini adalah
pertanda dari perubahan yang tengah menghadang.
Hegel
dalam hal ini, melihat periode modern sebagai satu periode, di mana manusia
sebagai subjek, menentukan sendiri landasan nilai dan kriteria dalam
kehidupannya di dunia. Manusia modern tidak memerlukan landasan nilai,
kebenaran, atau legitimasi selain dari dalam dan untuk dirinya sendiri, manusia
modern bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Bagi Hegel, tidak ada
landasan lain yang dapat menopang subjek yang merdeka selain dari “akal budi”
sang subjek itu sendiri, akal budi yang mencari kebenaran melalui ilmu
pengetahuan. Baginya ilmu pengetahuan yang menjadi mahkota dari apa yang
disebutnya “Kebenaran Ideal”, menggantikan mitos, legenda atau wahyu.
Bagi
filsuf kelahiran 1770 di Stuttgart Jerman ini, rasio merupakan dasar
substansial bagi kesadaran. Titik tolak filsafat Hegel adalah keyakinan
bahwa “ide yang dimengerti” dan “kenyataan” itu sama saja. Maka tidak ada
perbedaan antara bidang “rasio” dan bidang “realitas”. Rasionalitas dan
realitas itu sama menurut Hegel. Kata Hegel, yang dimengerti itu real, dan yang
real itu dimengerti. “Berpikir” dan “ada” itu sama. Seluruh kenyataan itu satu
proses dialektis. Dalam proses ini semua pertentangan dari pikiran dan
kenyataan diatasi dan diangkat, atau didamaikan dalam
sintesa-sintesa yang merupakan titik-titik pangkal baru untuk mencapai
sintesa-sintesa dari tingkat yang lebih tinggi .
Modernitas
bagi Hegeladalah Zeitgeist, atau “semangat zaman” . Zeitgeist adalah istilah yang digunakan Hegel
untuk menjelaskan pengalaman, yaitu semangat “menjadi” di dalam ruang dan waktu
– pengalaman yang karakteristik modernitas. Jürgen Habermas, di dalam
bukunya The Philosophical Discourse of Modernity, menjelaskan konsep Zeitgeist
Hegel ini mencirikan masa kini
sebagai suatu peralihan ke masa depan yang diharapkan berbeda.
Pada
perkembangan selanjutnya semangat Pencerahan yang dikumandangkan oleh Kant
tetap mendapatkan tempat dan menjadi sumber inspirasi para filsuf Abad
XX. Termasuk didalamnya tokoh-tokoh yang tergabung dalam Mazhab Frankfurt.
Istilah Mazhab Frankfurt dipakai untuk menunjukkan sekelompok cendekiawan
yang tergabung dalam Institut für Sozialforschung, yang didirikan di Frankfurt pada
tahun 1923. Anggota Mazhab Frankfurt antara lain Max Horkheimer, Theodor W.
Ardorno, Herbert Marcuse.
Memasuki
abad 18 dikenallah apa yang disebut dengan “zaman Pencerahan” (bhs. Jerman Aufklärung; bhs. Inggris: Enlightenment). Nama ini diberikan karena manusia
mulai mencari cahaya baru di dalam rasionya sendiri. Dan filsuf terbesar pada
era Pencerahan, siapa lagi kalau bukan Immanuel Kant (1724-1804). Tentang
Pencerahan itu sendiri seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Kant
mengatakan bahwa orang keluar dari keadaan tidak akil-balig (Unmündigkeit), yang dengannya ia sendiri
bersalah. Kesalahan itu terletak dalam keengganan atau ketidakmauan
manusia untuk memanfaatkan rasionya: orang lebih suka berpaut pada otoritas di
luar dirinya (wahyu ilahi, nasihat orang terkenal, ajaran gereja atau negara).
Berhadapan dengan sikap ini, Pencerahan bersemboyan: Sapere
Aude!, yang berarti: Beranilah berpikir
sendiri!. Dengan demikian, Pencerahan merupakan tahap baru dalam proses
emansipasi Barat yang telah dimulainya sejak Renaissance.
Salah
satu kebesaran Kant terletak ketika ia memberi tempat sentral pada manusia
sebagai subjek yang berpikir. Kalau sebelum Kant kebenaran lebih dimengerti
sebagai “pencocokan intelek terhadap realitas” (adaequatio
intellectus ad rem),
sejak Kant kebenaran itu lebih merupakan “pencocokan realitas terhadap
intelek” (adaequatio rei ad intellectum). Sebelum Kant, filsafat lebih dipandang sebagai suatu
proses berpikir di mana subjek (manusia, “aku”) mengarahkan diri pada objek
(benda “dunia”). Akan tetapi sejak Kant arah itu diubah: objeklah yang kini
mengarahkan diri kepada subjek untuk diproses menjadi pengetahuan. Perubahan
arah ini dinamakannya “pemutarbalikan Copernican” (Kopernikanische
Wende).
Pemikiran
Kant tentang teori pengetahuan tidak terlepas pada suasana intelektual
filosofis di zaman Kant. Karya intelektual yang dihasilkan Kant tidak terlepas
dari adanya ketegangan antara pendekatan kontinental, yang menekankan
pemikiran rasional, dan aliran Inggris, yang menekankan pengalaman inderawi
sebagai dasar pengetahuan. Kant menentang kedua posisi ekstrem bahwa semua
pengetahuan muncul dari pengalaman, dan bahwa ada pengetahuan yang terlepas
sama sekali dari pengalaman. Sebaliknya, dia yakin bahwa semua pengetahuan
berhubungan dengan pengalaman, tetapi tidak dapat direduksikan kepada apa yang
kita alami.
Pemikiran
Kant sangat dipengaruhi oleh Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716) dan Sir
David Hume (1711-1776). Keduanya merupakan wakil dari dua aliran pemikiran
filosofis yang kuat melanda Eropa pada masa Pencerahan. Leibniz tampil sebagai
tokoh penting dari aliran rasionalisme, sedangkan Hume muncul sebagai wakil
dari aliran empirisme.
Leibniz
memulai filsafatnya atas pengertian mengenai “substansi”, Leibniz
mengatakan bahwa terdapat banyak sekali substansi dan jumlahnya tidak terbatas.
Kenyataan terdiri dari monade-monade: “bagian-bagian” paling kecil, yang semua
merupakan substansi-substansi. Monade-monade tidak mempunyai ukuran;
monade-monade paling baik dianggap sebagai “titik-titik”, yang mempunyai
kuantitas energi tertentu. Monade-monade itu seperti “jiwa-jiwa”, karena
semua monade mempunyai “kesadaran”.
Selanjutnya
menurut Leibniz ada tiga macam monade. Pertama, monade yang hanya memiliki
gagasan yang tidak sadar dan gelap, yakni monade-monade yang menyusun
benda-benda anorganik. Kedua, monade yang telah memiliki gagasan yang telah
sampai pada kesadaran yang agak jelas, yaitu monade yang memberi pengenalan
inderawi. Ketiga, monade yang memiliki gagasan yang jelas dan disadari (apperceptio), yakni jiwa manusia yang
mengenal hakekat segala sesuatu serta mengungkapkannya dalam suatu definisi.
Ajaran
Leibniz mengenai monade ini diterapkannya juga pada ajaran mengenai proses
pengetahuan manusia. Menurut Leibniz, pengetahuan manusia mengenai alam semesta
sesungguhnya telah ada di dalam dirinya sendiri sebagai bawaan. Pada
mulanya pengetahuan ini berbentuk gagasan atau ide yang belum sadar, tetapi
kemudian ini dijadikan sadar oleh karya imanen jiwa manusia yang adalah sebuah
monade inti. Di dalam pengamatan, pengetahuan masih agak kabur sebab baru
menghasilkan suatu gagasan yang masih sedikit kejelasan dan kesadarannya
(monade macam kedua). Tetapi kemudian pengetahuan di dalam pengamatan itu
secara perlahan-lahan menjadi semakin jelas, sehingga akhirnya muncul di dalam
gagasan atau idea yang jelas sekali, yakni pengetahuan dalam bentuk pengertian
(monade macam ketiga).
Bagi Leibniz, pengalaman itu
sendiri bukanlah sumber pengetahuan, melainkan tingkat perdana pengetahuan
akali. Di dalam pengetahuan dalam bentuk pengertian, rasio atau daya
berpikir sendirilah yang lebih berusaha untuk menaikkan isi pengetahuan,
dari pengalaman hingga menjadi pengetahuan yang jelas dan disadari. Sifat
pengetahuan ini adalah umum dan mutlak perlu, justru karena tidak berasal dari
pengalaman seseorang. Sampai di sini, semakin kentara bahwa Leibniz adalah
penganut aliran rasionalisme yang sudah dipelopori oleh Descartes, filsuf
terkenal dari Perancis itu.
Pada
masa 1755-1770 sebagai seorang Kant muda atau dikenal dengan masa pra-kritis,
sangat dipengaruhi oleh rasionalisme ala Leibniz. Sebagai rasionalis, Kant muda
pernah memiliki asumsi yang tak kritis bahwa prinsip kausalitas, yakni bahwa
setiap kejadian memiliki penyebab, merupakan hukum alam yang niscaya. Yang
melekat pada hakikat setiap hal, suatu kebenaran yang dapat disaksikan dengan
rasio murni tanpa harus mengacu pada pengalaman. Ia pun pernah menyepakati
begitu saja bahwa terdapat hubungan-hubungan yang bersifat niscaya dalam alam,
yang melekat secara inheren dalam tatanan objektif realitas. Dari sudut pandang
seperti itu, kemampuan rasio tak lain adalah kemampuan untuk mengintuisikan
“hubungan-hubungan nyata” seperti itu dan dengan demikian lantas menyediakan
semacam peta atau foto sinar X tentang struktur inheren dari ada itu sendiri.
Pikiran manusia berpikir “secara sebab akibat” karena pikiran itu sendiri
sebenarnya adalah cermin yang memantulkan tanpa distorsi struktur terpendam
dunia luar. Rasio mengetahui bahwa prinsip-prinsip itu memang “sudah jelas
dengan sendirinya” adalah benar karena ia “menyaksikan”, melalui tindakan
intuisi intelek, sehingga memang benar bahwa prinsip-prinsip itu adalah hakikat
segala hal. Berdasarkan pandangan demikian itu, rasio bukanlah semata-mata
merupakan kemampuan mengabstraksikan dan menyimpulkan melainkan juga kemampuan
menemukan yang memungkinkan kita menyaksikan ciri-ciri paling umum dari
segala hal sebagai ada dalam dirinya sendiri.
Seiring
berjalannya waktu Kant kemudian mengagumi pemikiran seorang filsuf
Skotlandia David Hume, dan Kant mengaku berkat Hume lah ia bangun dari “tidur
dogmatik”-nya. Hume adalah seorang yang menolak pandangan bahwa manusia
mempunyai pengetahuan bawaan, dengannya ia lantas mengenal alam semesta. Sumber
pengetahuan itu, kata Hume, adalah pengalaman.
Tanggapan
Hume terhadap pandangan kaum rasionalis sangat sederhana. Ia bertanya,
bagaimana kita bisa mengetahui bahwa setiap kejadian memiliki dan pasti
memiliki penyebab yang terlepas dari pengalaman? Hume bersedia mengaku bahwa
beberapa proposisi memang bisa dibenarkan. Di antaranya ia menyebut kebenaran
matematika dan logika, serta proposisi-proposisi verbal seperti “Setiap anjing
adalah anjing” dan “Setiap benda yang berwarna lebih panjang dari benda
aslinya”. Namun, kebenaran-kebenaran seperti itu merupakan “relasi ide-ide”;
kebenaran-kebenaran itu tak mengemukakan apa-apa tentang persoalan fakta atau
eksistensi. Menurut Hume, satu-satunya kriteria kebenaran mutlak adalah hukum
nonkontradiksi. Jika suatu proposisi tak benar disangkal tanpa
kontradiksi, ia pasti benar. Namun dengan logika yang sama, pendapat itu tak
mengemukakan apa-apa di luar yang diandaikan oleh konsep-konsep yang
dikandungnya. Proposisi mana pun yang bisa disangkal tanpa kontradiksi tidak
niscaya benar. Dalam hal itu, sekiranya itu ada artinya, bukti untuk itu hanya bisa
diperoleh lewat pengalaman.
Lantas bagaimana dengan hukum
kausalitas? Adakah kontradiksi jika menyangkal bahwa sesuatu bisa eksis tanpa
penyebab? Menurut Hume, jawabannya pasti “Tidak”. Hukum sebab akibat adalah
universal, sejauh ia adalah hukum alam, tak bisa diketahui secara apriori
sebagai benar sebelum adanya pengalaman.
Persoalan yang muncul ini sangat
fundamental. Sebab jika prinsip kausalitas itu tidak pasti, maka akan tampak
bahwa seluruh upaya ilmu pun tak memiliki landasan yang lebih kuat dibandingkan
agama wahyu. Maka, tak adakah pembenaran bagi keyakinan para ilmuwan atas
keseragaman alam? Apakah ia hanya sekedar tindakan keyakinan lainnya yang tak
memiliki landasan yang lebih rasional dibandingkan komitmen para pendeta, nabi,
atau dukun .
Terhadap
persoalan-persoalan serius itulah Kant mencurahkan pemikirannya dalam Critique
of Pure Reason.
Jawaban-jawaban atas persoalan itulah yang menyusun sebagian besar dari
Revolusi Copernican dalam filsafat. Kant mencoba mempersatukan
rasionalisme dan empirisme. Ia memperlihatkan bahwa pengetahuan merupakan
hasil “kerjasama” dua unsur: pengalaman inderawi dan keaktifan akal budi.
Pengalaman inderawi merupakan unsur “a
posteriori” (“yang
datang kemudian”), akal budi merupakan unsur “a
priori” (“yang
datang lebih dulu”). Empirisme dan rasionalisme hanya mementingkan satu dari
dua unsur ini, sehingga hasilnya setiap kali berat sebelah. Kant memperlihatkan
bahwa pengetahuan selalu sebagai sintetis.
Kant
membedakan tiga macam putusan. Pertama, putusan analitis: di sini predikat
tidak menambah sesuatu yang baru pada subjek. Karena sudah termuat di
dalamnya (misalnya: lingkaran adalah bulat). Kedua, putusan sintetis a
posteriori: di sini
predikat dihubungkan dengan subjek berdasarkan pengalaman inderawi. Pernyataan
“meja itu bagus”, misalnya, adalah putusan sintetis a
posteriori.
Pernyataan ini merupakan hasil suatu pengamatan inderawi setelah (post, bhs Latin) saya mempunyai
pengalaman dengan aneka ragam meja yang pernah saya ketahui. Ketiga,
putusan sintetis a priori: di sini dipakai suatu sumber
pengetahuan yang kendati bersifat sintetis, namun toh bersifat a
priori juga.
Begitu misalnya, putusan yang berbunyi “segala kejadian mempunyai sebabnya”.
Putusan ini berlaku umum dan mutlak (jadi a
priori), namun
putusan ini juga bersifat sintetis dan a posteriori. Sebab di dalam pengertian
“kejadian” belum dengan sendirinya tersirat pengertian “sebab”.
Maka di sini baik akal maupun pengalaman inderawi dibutuhkan serentak. .
Penjelasan lebih lanjut tentang tiga
macam putusan ini secara garis besar dapat dikemukakan sebagai berikut: Kant
sepakat bahwa kaum rasionalis telah bersikap tidak kritis dalam anggapannya
bahwa hukum kausalitas universal adalah kebenaran yang bersifat niscaya, yang
diintuisikan oleh rasio sebagai kebenaran dari segala hal sebagai ada
dalam dirinya sendiri. Sebagaimana diungkapkan Kant, hukum itu tidak
“analitis”. Hume sepenuhnya benar ketika menyangkal bahwa hukum itu disimpulkan
dari makna sejati “sesuatu”, yakni bahwa sesuatu itu pasti memiliki penyebab.
Dengan demikian, prinsipnya harus bersifat “sintetis”. Namun, Kant
menolak untuk menganggapnya hanya sebagai pernyataan serba-mungkin atas
fakta.
Penolakan
Kant ini berupaya untuk mempertahankan konsep kausalitas yang diserang Hume.
Kant mencoba memperlihatkan bahwa konsep sebab harus bisa diterapkan kepada
kenyataan objektif, sebab hanya berkat kemampuan konsep-konsep seperti “sebab”
itu untuk diterapkanlah bahwa kita dapat membedakan antara kenyataan
objektif dan subjektif.
Kant
berpendapat bahwa pengalaman muncul dengan bahan mentah dari sensasi. Tetapi
indera sendiri tidak memberikan kita “objek”. Untuk itu, bahan mentah
dari sensasi harus dibentuk oleh kategori-kategori formal akal, yang
menurut Kant ada duabelas. Di antara kategori-kategori formal ini, “sebab”
sangatlah penting. Semua sensasi tersebut disajikan di dalam urutan
waktu. Semua sensasi kita mengalir. Tetapi apa yang kita saksikan adalah
bahwa urut-urutan di mana kita mengalaminya tidak dapat diatur secara sembarangan.
Misalnya tahap-tahap yang kita saksikan di dalam melihat lajunya sebuah mobil.
Hanya berdasar pada perbedaan antara yang bersifat mengikuti hukum dan yang
bersifat sembarangan atau tanpa aturanlah kita membedakan antara yang objektif
dan yang subjektif. Wahana yang objektif adalah wahana dari fenomen yang
teratur.
Dapat
dikatakan bahwa hukum kausalitas menurut Kant, bukanlah pernyataan faktual yang
hanya benar secara a posteriori, bukan pula penjelasan “analitis”
atas makna-makna yang telah terkandung dalam konsep. Ia lebih merupakan suatu
prinsip regulatif yang merupakan peraturan universal bagi seluruh
penyelidikan rasional. Semua prinsip jenis ini adalah a priori, sekaligus juga
sintetis. Dengan demikian, prinsip-prinsip itu jelas universal dan niscaya. Dan
karena itu validitasnya tidak tergantung pada konfirmasi pengalaman.
Sebaliknya, validitasnya sudah diandaikan oleh semua keputusan yang hendak
memberi kita pengalaman tantangan fenomena. Akan tetapi, prinsip-prinsip itu
berlaku bagi konsepsi kita atas segala hal yang eksis, dan bukan hanya bagi apa
yang oleh Hume disebut relasi ide-ide .
Maka,
bagi Kant, persoalan fundamental kritik rasio hanyalah, “Bagaimana
keputusan-keputusan sintetis a priori dimungkinkan? Jawaban Kant terhadap
persoalan ini dapat dijelaskan bahwa pemahaman manusia tak dapat lagi
dikonsepsikan sebagai cermin pasif yang memantulkan secara
intuitif pola-pola, atau logos, dari segala sesuatu dalam dirinya sendiri. Apa
yang disebut “pikiran” harus dianggap sebagai pelaku aktif yang mampu
merangkai bahan-bahan mentah pengalaman inderawi menjadi suatu tatanan
dunia berupa fenomena yang terkonseptualisasikan. Bagi Kant pikiran itu sendiri
bukanlah satu-satunya realitas. Data pengalaman inderawi mau tak mau memang
“sudah ada”; kita sekedar menemukan bahwa data itu ada saat kita membuka mata
dan telinga.
Dalam
pemikiran tentang pengetahuan sintetis aposteriori itulah Kant mengusung “revolusi
Copernican” dalam filsafat. Bukan subjek yang tergantung pada objek, tetapi
sebaliknya objek tergantung pada subjek. Objek sejauh menampakkan diri
(fenomen) dan sejauh diketahui, distrukturkan oleh subjek. Objek sebagaimana
adanya atau “benda dalam dirinya sendiri” (noumenon) dan yang melulu merupakan “bahan
mentah” bagi pengetahuan tidak dapat diketahui.
Menurut
Kant, pembalikan baru dari peran dominan dalam kegiatan mengetahui tersebut,
(yakni dari peran dominan objek dalam menentukan pikiran ke peran dominan
subjek dalam menentukan objek sebagaimana diketahui) merupakan jalan
satu-satunya untuk menjamin kebenaran. Kebenaran baginya adalah kesesuaian
antara objek dengan pikiran. Karena dalam pandangannya, pikiran
atau subjek mengkonsumsikan objek sebagaimana diketahui, maka tentu saja objek
dan subjek jelas sesuai satu sama lain. Ia menyebut posisi
epistemologisnya sebagai bentuk “realisme empiris” (bagi kita benda-benda
adalah sebagaimana mereka menampakan diri kepada kita) dan sekaligus “idealisme
transendental” (benda-benda sebagaimana diketahui, bagi kita, dikonstitusikan
oleh pikiran kita). Dengan kata lain, pikiran kita sebagai subjek memang tidak
menciptakan objek pada dirinya sendiri tetapi objek sebagaimana kita
ketahui, distrukturkan secara apriori oleh pikiran kita. Bagi Kant, semua unsur
formal atau struktural dalam objek yang kita ketahui, datang dari struktur
pikiran. Sedangkan semua unsur material merupakan sesuatu yang pada
dirinya tak dapat diketahui. Unsur-unsur formal yang secara apriori
berasal struktur-struktur pikiran, bagi Kant merupakan suatu syarat yang
bersifat niscaya bagi dimungkinkannya pengalaman kognitif, dengan demikian
struktur apriori itu sendiri tidak pernah dialami pada dirinya dan juga tidak
berasal dari pengalaman. Dalam rumusan Kant, setiap unsur kegiatan manusia
mengetahui muncul bersama pengalaman, tapi tidak setiap unsur di dalamnya
berasal dari pengalaman. Unsur-unsur formal muncul bersama pengalaman akan
objek, unsur-unsur formal tersebut tidak dapat berasal dari pengalaman, karena
persis merupakan syarat-syarat bagi dimungkinkannya pengalaman. Oleh karenanya.
Semua unsur formal atau struktural kegiatan manusia mengetahui itu bersifat
apriori.
Pada
akhirnya garis besar dalam sejarah filsafat zaman modern, rasionalisme dan
empirisme, saling bertemu dalam filsafat Kant. Pikiran Kant merupakan suatu
sintesis yang sekaligus berarti titik akhir rasionalisme dan empirisme.
Disamping
itu bahwa Imanuel Kant dengan mengikuti
alur berfikir Hugo De Groot ( pendasar hukum alam yang rasional) ia menekankan adanya peranan rasio manusia
dalam garis depan, sehingga rasio manusia sama sekali terlepas dari Tuhan. Oleh
karena itu rasio manusialah sebagai satu-satunya sumber hukum.
Filsafat dari
Kant dikenal sebagai filsafat kritis, lawan dari filsafat dogmatis. Ajaran Kant
dimuat dalam tiga buah karya besar, yaitu: Kritik Akal Budi Manusia (kritik der reinen Vernunft yang terkait
dengan persepsi), Kritik Akal Budi Praktis (kritik
der praktischen Vernunft yang terkait dengan moralitas), Kritik Daya
Adirasa (kritik der Urteilskraft yang
terkait dengan estetika dan harmoni). Ajaran Kant tersebut ada korelasinya
dengan tiga macam aspek jiwa manusia, yaitu cipta, rasa, dan karsa (thinking, volition, and feeling)
Metode kritis tidak skeptis, tidak dogmatis (trancendental). Hakekat manusia (homo noumenon) tidak terletak pada
akalnya, beserta corak berfikir yang bersifat teoritis keilmuan alamiah (natuurweten schappelijke denkwijze),
tetapi pada kebebasan jiwa susila manusia yang mampu secara mandiri menciptakan
hukum kesusilaan bagi dirinya sendiri dan juga orang lain. Yang penting
bukan manusia ideal berilmu atau ilmuwan, tetapi justru pada manusia ideala
berkepribadian humanistis.
Salah satu
karya Kant yang berjudul Metaphysische
Anfangsgruende der Rechtslehre (Dasar Permulaan Metafisika Ajaran Hukum
merupakan bagian dari karyanya yang berjudul Metaphysik der Sitten) pokok pikirannya ialah bahwa manusia menurut
darma kesusilaannya mempunyai hak untuk berjuang bagi kebebasan lahiriahnya
untuk menghadirkan dan melaksanakan kesusilaan. Dan hukum berfungsi untuk
menciptakan situasi kondisi guna mendukung perjuangan tersebut. Hakekat hukum
bagi Kant adalah bahwa hukum itu merupakan keseluruhan kondisi-kondisi di mana
kehendak sendiri dari seseorang dapat digabungkan dengan kehendak orang lain di
bawah hukum kebebasan umum yang meliputi kesemuanya.
Katagori imperatif Kant mewajibkan semua
anggota masyarakat tetap mentaati hukum positif negara sekalipun di dalam hukum
terebut terdapat unsur-unsur yang bertentangan dengan dasar-dasar kemanusiaan.
Jadi, di sini sudah terdapat larangan mutlak bagi perilaku yang tergolong
melawan penguasa negara, sehingga dengan katagori imperatif ini ajaran dari
Immanuel Kant juga dapat digolongkan ke dalam aliran positivisme. Pendapat Kant
ini diikuti oleh Fichte yang mengatakan bahwa hukum alam itu bersumber dari
rasio manusia.
Penulis lain yang tidak kalah pentingnya
ialah Hegel dari Jerman. Yang dijadikan motto oleh Hegel ialah: Apa yang nyata
menurut nalar adalah nyata, dan apa yang nyata adalah menurut nalar (Was vernunftig ist, das ist wirklich ist,
das ist vernunftig. What is reasonable is real, and what is real is
reasonable). Tidak ada antimoni antara nalar/akal dengan kenyataan atau
realitas. Bagi Hegel, seluruh kenyataan kodrat alam dan kejiwaan merupakan
proses perkembangan sejarah secara dialektis dari roh/cita/spirit mutlak yang
senantiasa maju dan berkembang. Jiwa mutlak mengandung dan mencakup seluruh
tahap-tahap perkembangan sebelumnya jadi merupakan permulaan dan kelahiran
segala sesuatu. Pertumbuhan dan perkembangan dialektis melalui tesa, antitesa,
san sintesa yang berlangsung secara berulang-ulang dan terus-menerus. Filsafat
hukum dalam bentuk maupun isinya, penampilan dan esensinya juga dikuasai oleh
hukum dialektika. Negara merupakan perwujudan jiwa mutlak, demikan juga dengan
hukum.
Dari
uraian panjang lebar diatas jelaslah bahwa Imanuel Kant telah menunjukkan
pandangannya yang keluar dari berfikir irrasional dan menganggap hukum suatu
produk akal (rasio) manusia , penguasa, Negara.
Sehingga setiap orang harus taat pada perintah hukum Negara dan
penguasa. Inilah cikal bakal dari berfikir positif dan mashab positif.
D.
Positivisme Hans Kelsen- Neo Kantian
Sebelum aliran hukum positif lahir telah berkembang suatu pemikiran dalam ilmu
hukum yang disebut dengan Legisme
yang memandang tidak ada hukum di luar undang-undang, dalam hal ini
satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang.
Pandangan hukum yang mulai berkembang dan memerlukan analisa yang
obyektif itulah kemudian melahirkan suatu faham : analitycal jurisprudence
yang dibangun oleh John Austin.
Pemikiran analitycal jurisprudence berkembang di Inggris namun sedikit
ada perbedaan dari tempat asal kelahiran Legisme di Jerman. Di Inggris,
berkembang bentuk yang agak lain, yang dikenal dengan ajaran Positivisme Hukum
dari John Austin, yang membagi hukum
atas 2 hal, yaitu:
a) Hukum
yang diciptakan oleh Tuhan untuk manusia.
b) Hukum
yang disusun dan dibuat oleh manusia, yang terdiri dari:
- hukum dalam arti yang sebenarnya. Jenis ini disebut sebagai
hukum positif yang terdiri dari hukum yang dibuat penguasa, seperti:
undang-undang, peraturan pemerintah, dan sebagainya, hukum yang dibuat atau
disusun rakyat secara individuil yang dipergunakan untuk melaksanakan
hak-haknya, contoh hak wali terhadap perwaliannya.
- Hukum dalam arti yang tidak sebenarnya, dalam arti hukum
yang tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum, contoh: ketentuan-ketentuan
dalam organisasi atau perkumpulan-perkumpulan.
Menurut
Austin, dalam hukum yang nyata pada point pertama, di dalamnya terkandung
perintah, sanksi, kewajiban, dan kedaulatan. Sehingga ketentuan yang tidak
memenuhi keempat unsur tersebut tidak dapat dikatakan sebagai hukum.
Pergulatan
positivism “ legisme ( Jerman), dan
Analitical Jurisprudence ( Inggris) semakin diperkaya dengan munculnya “
teori murni “ tentang hukum dari Hans Kelsen.
Ajaran hukum murni dikatagorikan ke dalam aliran positivisme, karena
pandangan-pandangannya tidak jauh berbeda dengan ajaran Auistin. Hans Kelsen
seorang Neo Kantian, namun pemikirannya sedikit berbeda apabila dibandingkan
dengan Rudolf Stammler. Perbedaannya terletak pada penggunaan hukum alam.
Stanmmler masih menerima dan menganut berlakunya suatu hukum alam walaupun
ajaran hukum alamnya dibatasi oleh ruang dan waktu. Sedang Hans Kelsen secara
tegas mengatakan tidak menganut berlakunya suatu hukum alam, walaupun Kelsen
mengemukakan adanya asas-asas hukum umum sebagaimana tercermin dalam Grundnorm/Ursprungnormnya.
Ajaran Kelsen juga dapat dikatakan mewakili aliran positivisme kritis(aliran Wina). Ajaran tersebut dikenal
dengan nama Reine Rechtslehre atau ajaran hukum murni. Menurut ajaran
tersebut, hukum harus dibersihkan dari dan/atau tidak boleh dicampuri oleh
politik, etika, sosiologi, sejarah, dan sebagainya. Ilmu (hukum) adalah susunan
formal tata urutan/hirarki norma-norma. Idealisme hukum ditolak sama sekali,
karena hal-hal ini oleh Kelsen dianggap tidak ilmiah. Adapun pokok-pokok ajaran
Kelsen adalah sebagai berikut:
a) Tujuan
teori ilmu hukum sama halnya dengan ilmu-ulmu yang lain adalah meringkas dan
merumuskan bahan-bahan yang serba kacau dan keserbanekaragaman menjadi sesuatu
yang serasi.
b) Teori
filsaft hukum adalah ilmu, bukan masalah apa yang dikehendaki, masalah cipta,
bukan karsa dan rasa.
c) Hukum
adalah ilmu normatif, bukan ilmu ke-alaman (natuurwetenschap)
yang dikuasai oleh hukum kausalitas.
d) Teori/filsafat
hukum adalah teori yang tidak bersangkut paut dengan kegunaaan atau efektivitas
norma-norma hukum.
e) Teori
hukum adalah formal, teori tentang ara atau jalannya mengatur
perubahan-perubahan dalam hukum secara khusus.
f) Hubungan kedudukan antara tori hukum dengan sistem hukum
positif tertentu adalah hubungan antara hukum yang serba mungkin dan hukum yang
senyatanya.
KELSEN mengemukakan “Pure Theory of Law” yang terjemahannya teori murni tentang hukum
(yang murni bukan hukumnya tetapi teorinya), ajarannya yaitu: dalam membuat
teori hukum haruslah bersih/murni dari pengaruh unsur-unsur lain.
Murni di sini dimaksudkan tidak dipengaruhi oleh ilmu –
ilmu lain, unsur/ajaran–ajaran lain misalnya agama filsafat, sejarah,
sosiologi, antropologi, ekonomi dan sebagainya.Untuk mendukung teori murni
tentang hukumnya, Kelsen mengemukakan teori Stufenbau yaitu mengenai keberlakuan
kaidah hukum.
Stufenbau teori maksudnya keberadaan kaidah
yang lebih rendah ditentukan oleh kaidah lebih tinggi dengan demikian kaidah
konkrit berlaku berdasarkan kaidah abstrak, sedangkan kaidah abstrak berlaku
berdasarkan kaidah dasar atau grund norm.
E. Beberapa Jenis Kaidah Dalam
Positivisme Hukum
1. Kaidah Konkrit (Individual Norm)
Adalah suatu kaidah yang berlaku/mengatur bagi subyek
hukum yang ditentukan dengan konkrit.ContohnyaSurat keputusan
pengangkatan/pemberhentian pejabat, Surat putusan pengadilan,Surat
penetapan/fatwa waris, surat ijin usaha.
Ketiga macam surat tersebut di dalamnya ditentukan dengan
konkrit siapa nama subyek hukum (subyek – subyek hukum), berapa umurnya/kapan
berdirinya, apa pangkat golongannya, apa pekerjaannya, dimana alamat tempat
tinggalnya (semuanya itu merupakan identitas subyek hukum tersebut) dan apa
yang harus dilakukannya, apa hukumnya/berapa lama hukumannya.
2. Kaidah Abstrak
(General Norm)Adalah suatu kaidah yang berlaku/mengatur bagi subyek
hukum yang ditentukan secara umum. (baik berlakubagi suatu masyarakat atau
hanya golongan tertentu).Contohnya Undang–undang perkawinan; dimana setiap WNI
maupun WNA (Perkawinan Campuran) yang menikah di Indonesia berlaku
Undang–undang tersebut.
Contohnya PP No.10 tahun 1983 (hanya berlaku bagi
golongan Pegawai Negeri Sipil), Peraturan Daerah mengenai pemilikan KTP berlaku
hanya untuk warga disuatu tempat biasanya propinsi/kabupaten atau kotamadya.
3. Kaidah Dasar (Grund Norm)Adalah suatu kaidah yang sangat abstrak
dan terdiri hanya satu kaidah saja yang
berlaku serta mengatur kaidah-kaidah di bawahnya, kaidah dasar di
Indonesia bukanlah Pancasila atau UUD 1945 karena Pancasila merupakan asas, dan
UUD 1945 tidak terdiri dari satu kaidah saja.
4. Kesalahan/tidak konsisten teori murni Kelsen terletak pada kaidah
dasarnya yang diterangkan oleh Kelsen, yaitu tidak ada norma dasar/kaidah dasar
dapat diakui tanpa keefektifan yang minimal yang menjurus pada
pentaatan/kepatuhan hingga taraf tertentu.
Untuk mengetahui dan mengukur kepatuhan/pentaatan dari
warga masyarakat tersebut hanya dapat dilakukan dengan (ilmu) sosiologi.
Jadi kesalahan/tidak konsisten teori murni Kelsen
terletak pada kaidah dasar/norma dasar yang tidak murni lagi karena dipengaruhi
oleh sosiologi.
Menurut Kelsen, Pemilihan mengenai norma dasar tidak
bersifat sewenang – wenang sebaliknya pilihan tersebut harus dilakukan oleh
ahli ilmu hukum pada prinsip–prinsip keberlakuan, yaitu bahwa tertib hukum
secara keseluruhan harus bersandar pada asumsi yaitu keberlakuan secara luas,
dalam arti bahwa secara umum warga berprilaku sesuai dengan asumsi itu.
Norma dasar bukanlah hukum positif dan maka tidak berkaitan dengan ilmu
hukum, tetapi sepenuhnya formal dalam memberikan kesatuan terhadap system hukum
dan membuat batas–batas akan norma – norma itu yang dipelajari ilmu hukum.
F. NEO POSITIVISME
David Hume,
menolak semua pengetahuan yang bukan empiris, pengetahuan semacam itu
dianggapnya sebagai khayalan, jadi tidak mungkin ide-ide metafisika sebagai
pembawa kebenaran.
Positivisme
mengunggulkan pengetahuan ilmiah yang berpangkal pada empirisme.
Filsuf-filsuf
utilitarisme mengutamakan prinsip kegunaan dalam hidup sosial manusia; apa yang
ternyata berguna bagi perkembangan manusia dianggap baik dan benar (abad XX).
Mereka berusaha menghindari semua “ucapan” yang tidak dapat dipertanggung
jawabkan secara ilmiah. Oleh karena itu mereka mengambil alih metode empiris
dan analisis sebagai satu-satunya metode yang sah.
Dalam abad XX
muncullah kritik terhadap ilmu pengetahuan, yang meragukan tentang kebenaran
ucapan ilmiah. Dalam situasi dilema ini aliran-aliran filsafat baru muncul,
filsuf-filsuf aliran ini menyelidiki isi pengertian dan bahasa secara mendalam,
inilah yang disebut aliran “Neo positivisme”.
Jadi
Neopositivisme memberi perhatian lebih besar kepada logika dan kepada hubungan
yang erat antara logika dan bahasa.
Dalam kerangka teoritis, sikap
legilstik dan formalisme hukum merupakan tradisi dalam filsafat positivisme
atau yang lebih khusus dalam tradisi positivisme hukum. Kepastian hukum
merupakan keniscayaan bagi kaum legal-formalistik. Bahwa yang namanya hukum
harus tertulis dan (tanpa pandang bulu) ditegakkan sesuai aturan yang berlaku.
Namun, setelah aturan hukum tertulis tersebut diterapkan kepada setiap tindakan
manusia apakah keadilan yang akan tercipta?
G.
Hukum Tidak Harus Adil ?
Lahirnya
positivisme hukum merupakan pengaruh dari filsafat positivisme pada abad XIX.
Filsafat ini berpangkal dari apa yang diketahui, yang faktual, yang positif.
Segala uraian dan persoalan diluar apa yang ada sebagai fakta dan kenyataan
dikesampingkan. Oleh karena itu metafisika ditolak. Apa yang kita ketahui
secara positif adalah segala yang nampak, segala gejala. Berangkat dari akar
inilah positivisme hukum ada. Dengan dalih menggunakan logika dan metode ilmu
pasti ke dalam ilmu-ilmu sosial. Ilmu sosial (termasuk hukum di dalamnya) dalam
perkembanganya kemudian melahirkan karakteristik yang empiris, kaku, tertulis,
dan metodologis.
Hukum
selalu merupakan hukum positif dan positivisme hukum terletak pada fakta bahwa
hukum itu dibuat dan dihapuskan oleh tindakan manusia terlepas dari moralitas
dan sistem norma itu sendiri. Karena seperti diungkapkan Hans Kelsen bahwa “Hukum
harus dibersihkan dari anasir-anasir yang non yuridis, seperti unsur sosiologi,
historis dan etis“.
Pemikiran inilah yang dikenal dengan teori hukum murni (Reine
Rechtlehre) dari
Kelsen. Jadi, hukum adalah suatu Sollenkategore (kategori keharusan/ideal), bukan Seinkategorie (kategori faktual)
Baginya
hukum adalah suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai makhluk
rasional. Dalam hal ini yang dipersoalkan oleh hukum bukanlah “bagaimana hukum
itu seharusnya”, tetapi “apa hukumnya”. Dengan demikian walaupun hukum itu Sollenkategorie, yang dipakai adalah hukum positif
(ius
constitutum)
bukan yang dicita-citakan (ius constituendum).
Pemikiran
Hans Kelsen tentang hukum sangat dipengaruhi oleh pemikiran Immanuel Kant. Dia
bahkan kemudian dimasukkan sebagai kaum Neokantian karena ia menggunakan
pemikiran Kant tentang pemisahan antara bentuk dan isi. Bagi Kelsen hukum
berurusan dengan bentuk (forma) bukan isi (material). Jadi, keadilan sebagai isi hukum
berada di luar hukum. Suatu hukum dengan demikian dapat saja tidak adil, tapi
ia tetaplah hukum karena dikeluarkan oleh penguasa. Jadi, hukum dalam kacamata positivisme memang
tidak harus adil.